TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPR telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU.
Juru bicara Tim Sosialisasi KUHP Nasional, Albert Aries menyampaikan bahwa proses penyusunan KUHP sudah melibatkan partisipasi masyarakat dan komunitas pers, sehingga kemerdekaan pers tetap terjamin.
"Tidak benar pengesahan KUHP dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat dan komunitas pers, karena partisipasi yang bermakna (meaningful participation) sudah diwujudkan dalam proses penyusunan KUHP," ujar Albert Aries dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (9/12/2022).
"Misalnya dengan memberikan kesempatan kepada perwakilan dewan pers dan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) untuk didengar, dijelaskan dan dipertimbangkan masukannya, sehingga kemerdekaan pers tetap dijamin penuh," lanjutnya.
Menurut Albert, justru Pasal 6 huruf d Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers telah diadopsi dalam Pasal 218 KUHP dan 240 KUHP, yaitu Kritik merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, sehingga jelas tidak bisa dipidana.
Baca juga: 10 Catatan Komnas Perempuan Soal KUHP Baru
"Mengenai 17 pasal KUHP yang dituding dapat mengkriminalisasi wartawan dan mengancam kebebasan pers, sebenarnya merupakan pasal yang sudah ada sebelumnya dalam KUHP lama (existing), yang tidak spesifik ditujukan untuk insan pers sebagai bagian dari sarana kontrol publik dalam demokrasi," jelasnya.
Albert menjelaskan, sebagian dari pasal-pasal tersebut juga sudah pernah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) yang kemudian pertimbangan putusan MK tersebut diambil alih oleh tim perumus RKUHP untuk mereformulasi pasal-pasal tersebut.
Kemudian pasal 188 KUHP tentang tindak pidana terhadap ideologi negara, pasal ini sudah ada sejak perubahan KUHP melalui UU No. 27 Tahun 1999 tentang perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara yang memiliki alasan penghapus pidana khusus yaitu jika dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan misalnya untuk mempelajari, memikirkan, menguji dan menelaah.
Baca juga: Mantan Jaksa Agung RI Pertanyakan Sikap DPR Yang Mudah Meloloskan KUHP Baru
Selanjutnya, mengenai Pasal 218 KUHP tentang Penyerangan harkat dan martabat Presiden rumusannya berbeda dengan Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden yang sudah dianulir MK.
"Justru perumusan pasal 218 KUHP adalah mengikuti pertimbangan Putusan MK No 13-22/2006 tentang Pengujian Pasal 134 KUHP, yaitu dalam hal penghinaan dilakukan terhadap presiden selaku pejabat dapat menggunakan Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap kekuasaan umum sebagai delik aduan," imbuhnya.
Mengenai Pasal 240 KUHP tentang penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara deliknya bersifat aduan dan hanya bisa diadukan langsung oleh pimpinan lembaga negara yang dibatasi yaitu legislatif (hanya DPR, DPD, dan MPR) dan yudikatif (MA dan MK), sehingga menutup ruang bagi simpatisan atau relawan untuk melaporkan penghinaan terhadap lembaga negara.
Baca juga: Dipanggil MKD DPR, Iskan Qolba Lubis Minta Maaf Buntut Aksi Protes Keras Saat Paripurna KUHP
"Selain itu, jika rekan-rekan Pers hendak menghapus pasal 433 KUHP tentang pencemaran nama baik dan Pasal 436 KUHP tentang penghinaan ringan justru yang akan terjadi adalah kekosongan hukum dan kebebasan yang tidak bertanggungjawab," kata Albert.
Padahal, lanjutnya, Pers telah diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk memberitakan peristiwa atau opini dengan tetap menghormati norma-norma dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers).
"Perlu diketahui hal yang lebih penting dari semua kesalahpahaman itu adalah Buku I RKUHP justru menawarkan perubahan revolusioner dalam pembaharuan hukum pidana dan pemidanaan nasional yang tidak cenderung menghukum (punitive) karena selalu dialternatifkan dengan denda, serta memiliki tujuan dan pedoman pemidanaan sebagai perwujudan dari asas ultimum remedium," pungkasnya.