"Ciamis penghasilannya apa? Pelabuhan di selatan kan bukan pelabuhan niaga. Sama dengan pelabuhan di Teluk Bayur. Bukan pelabuhan niaga. Hanya pelabuhan penumpang. Di Ciamis juga sama, lalu dagang apa?" kata Saidi.
Adapun untuk membiayai sebuah kerajaan, lanjut Saidi, harus ada indikator ekonomi tersebut.
Saidi juga menyampaikan, penamaan kata Galuh agak keliru. Kata dia, karena Galuh berarti brutal.
"Sunda Galuh saya kira agak keliru penamaannya," katanya.
Baca juga: Profil Ridwan Saidi, Budayawan Betawi yang Meninggal Dunia di Usia 80 Tahun
- Pernah Sebut Kerajaan Sriwiyaja Fiktif
Pada Agustus 2019 lalu, Ridwan Saidi secara tegas menyebut, Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan fiktif.
Pernyataan tersebut, dikatakan Ridwan Saidi di sebuah kanal Youtube yang diunggah pada Jumat (23/8/2019).
Bahkan, Ridwan Saidi mengklaim telah 30 tahun mempelajari bahasa kuno guna menelisik jejak-jejak keberadaan Kerajaan Sriwijaya.
Kemudian, hasil penelusuran itu, membawanya pada satu hipotesis bahwa kerajaan itu, fiktif.
“Saya sudah 30 tahun mempelajari bahasa-bahasa kuno. Banyak kesalahan mereka (arkeolog), prasasti di Jawa dan Sumatera adalah bahasa Melayu, tapi sebenarnya bahasa Armenia," kata Ridwan ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (28/8/2019).
Merespons hal tersebut, Sejarawan Sumatera Selatan, Vebry Al Lintani, mengatakan berdirinya kerajaan Sriwijaya bisa dilihat dari prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo dan Telaga Batu.
Menurutnya, seluruh prasasti itu telah ada sejak abad ke-7 Masehi.
"Ada juga catatan sejarah peninggalan I-Tsing atau Yi Jing, soerang biksu dari Tiongkok dalam bukunya Nanhai menyebutkan pernah singgah ke Kerajaan Sriwijaya. Artinya jelas ada, dan besar (kerajaan Sriwijaya)," ucapnya.
Vebry mengatakan, dirinya mempertanyakan maksud dan tujuan Saidi menyampaikan pendapat tersebut.