Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Garuda berbicara mengenai polemik Perppu Cipta Kerja yang dikeluarkan pemerintah.
Wakik Ketua Umum Partai Garuda Teddy Gusnaidi menyebutkan Perppu Cipta kerja itu tidak membatalkan putusan MK terkait UU Cipta kerja sebelumnya.
"Jadi sama sekali tidak ada hubungan antara Perppu dengan putusan MK. Ibarat minyak dan air. Sayangnya ada yang memaksakan kehendak bahwa air dan minyak itu sama," kata Teddy Gusnaidi dalam keterangan tertulis, Kamis (5/1/2023).
Ia mencontohkan UU Pemilu. Dimana, sudah ada pasal-pasalnya yang dianulir MK, lalu muncul Perppu Pemilu.
"Apakah itu mengangkangi MK? Tidak kan? karena masing-masing berdiri sendiri," kata Teddy Gusnaidi.
"Kenapa tidak pernah ada yang mengatakan bahwa Perppu Pemilu itu mengangkangi putusan MK?" tanyanya.
Ia menuturkan banyak lagi UU yang lain yang sudah ada putusan MK, lalu Presiden mengeluarkan Perppu.
"Kenapa tidak ada yang menuding Presiden mengeluarkan perppu untuk kepentingan elit?" tanya Teddy.
Teddy lalu mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan 20 Perppu selama menjabat dan pernah mengeluarkan Perppu Pilkada.
Padahal UU Pilkada sedang digugat ke MK.
"Apakah SBY melakukan itu hanya untuk kepentingan elit? Tentu tidak, karena presiden melihat secara luas bukan sepotong-sepotong. Begitupun Presiden Jokowi," katanya.
Dikutip dari Tribunnews.com, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyoroti sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Baca juga: Polemik Perppu Cipta Kerja, Wakil Ketua Umum Partai Garuda Sebut Hak dan Kewenangan Presiden
Jimly Asshiddiqie menilai, penerbitan Perppu Cipta Kerja tersebut sebagai contoh pemerintahan yang seolah berada di atas hukum (rule by law).
Sebab menurut Jimly, MK sudah dengan jelas menyatakan Undang-Undang No 11 Taun 2022 tentang Cipta Kerja inkonstitusional dengan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2O2O.
Amar putusan MK ini antara lain: Pertama, pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan yaitu 25 November 2020.
Kedua, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan; Ketiga melakukan perbaikan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan.
Jimly menilai, dengan putusan MK tersebut, seharusnya lebih berperan dalam melakukan revisi UU Cipta Kerja adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan bukan mengambil jalan keluar dengan menerbitkan Perppu dengan alasan kegentingan.
"Peran MK dan DPR diabaikan. Ini bukan contoh rule of law yang baik tapi jadi contoh rule by law yang kasar dan sombong," kata Jimly seperti dikutip dari Kontan, Kamis (5/1/2023).
Seharusnya pemerintah dan DPR berunding serta merevisi UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diputuskan inkonstitusional oleh MK.
Jimly juga mengkritik pihak-pihak yang memberi argumen pembenaran penerbitan Perppu tidak melanggar undang-undang.
Bahkan menurut Jimly dalih kegentingan bisa menjadi preseden bagi pemerintah sehinga bisa digunakan buat tujuan lain seperti penundaan pemilihan umum (Pemilu) atau perpanjangan masa jabatan presiden.
"Kalau ada sarjana hukum yang ngotot memberi pembenaran pada Perppu Cipta Kerja ini, maka tidak sulit baginya untuk memberi pembenaran untuk terbitnya Perppu penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan," kritik Jimly.
Seperti diketahui Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Perppu Cipta Kerja pada Jumat (30/12/2022) menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada November 2020.
Pada amar putusannya MK juga menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi.
Baca juga: Wakil Ketua Umum Partai Garuda Nilai Larangan Jual Rokok Ketengan Berdasar Fakta di Lapangan
Selain itu pada proses pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski pemerintah dan DPR mengklaim sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak.
Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi UU. Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik.
Oleh karena itu, MK menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan.
Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen.
Keputusan Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Cipta Kerja dikritik keras oleh Koordinator Tim Kuasa Hukum Penggugat Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, Viktor Santoso Tandiasa.
"Tindakan ini adalah bentuk perbuatan melanggar hukum pemerintah atas putusan MK. Bahkan, dapat dikatakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi," ujar Viktor kepada Kompas.com.
Viktor menyatakan bahwa MK dalam putusannya mengamanatkan agar pemerintah dan DPR memperbaiki prosedur pembentukan UU Cipta Kerja dan memaksimalkan partisipasi publik. Bukannya menjalankan amanat konstitusi tersebut, pemerintah justru melakukan pembangkangan dan mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu.
"Sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, apabila dalam dua tahun atau sampai dengan 25 November 2023 tidak diperbaiki, maka akan inkonstitusional secara permanen," papar Viktor.
"Namun, ternyata pemerintah bukannya memanfaatkan dua tahun ini untuk memperbaiki tapi malah mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu," tutur dia.
Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada akhir tahun 2022.
Sebelumnya, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diputuskan inskontitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan memerintahkan pemerintah melakukan penyempurnaan.