TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan titik rawan korupsi pada penyelenggaraan haji di Indonesia.
Berdasarkan kajian Direktorat Monitoring KPK bertajuk “Pengelolaan Keuangan Haji” tahun 2019, terpotret beberapa pos titik rawan korupsi, yakni markup biaya akomodasi, penginapan, biaya konsumsi, dan biaya pengawasan haji.
Itu disampaikan Ketua KPK Firli Bahuri saat menggelar audiensi dengan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (5/1/2022).
“Faktanya menunjukkan ada perbedaan harga mulai dari biaya inap, itu cukup tinggi, termasuk biaya makan dan biaya pengawasan haji. (Berpotensi) timbul kerugian negara Rp160 miliar waktu itu,” kata Firli Bahuri dalam keterangannya, Jumat (6/1/2023).
Selain itu, KPK juga menemukan permasalahan yakni penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tidak sesuai ketentuan dan berpotensi menggerus dana pokok setoran jemaah.
Sebagai contoh, pada tahun 2022, BPIH per satu orang jemaah ialah Rp39 juta dari biaya riil seharusnya Rp98 juta per satu orang.
Untuk diketahui, pembiayan penyelenggaran ibadah haji diperoleh dari setoran jemaah dan nilai manfaat yang diperoleh dari dana kelolaan haji per tahun.
Dimana pada pelaksanannya, dana tersebut dibedakan menjadi dua yaitu direct cost dan indirect cost.
Seiring berjalannya waktu, saat ini indirect cost dipergunakan untuk mensubsidi direct cost dengan membiayai selisih biaya penerbangan, akomodasi selama di Mekkah dan Madinah.
Dengan kebijakan pemerintah—sejauh ini—yang tidak menaikkan BPIH, dapat dilihat indirect cost (subsidi) terhadap direct cost semakin meningkat setiap tahunnya (lebih dari 50 persen).
Kondisi ini, menurut Firli harus segera dicarikan solusi agar tidak menjadi bom waktu.
Dimana indirect cost, yang berasal dari dana manfaat, akan cepat habis sehingga berpotensi merugikan jemaah yang masih dalam masa tunggu.
Jika kondisi ini terus berlangsung, diperkirakan dana manfaat tersebut akan habis pada tahun 2026-2027.
Baca juga: BPKH Nilai Penelitian Pengalokasian Dana Haji Bisa Jadi Referensi Lembaga Sejenis
Oleh karena itu, Firli mengingatkan BPKH untuk melakukan perbaikan sistem pembiayaan haji.
Diperlukan efisiensi dengan memangkas hal-hal yang tidak diperlukan agar pembiayaan tidak membengkak.
Pos-pos yang dihilangkan tersebut dapat diganti atau memanfaatkan sumber daya yang selama ini tersedia.
“Kalau ada masalah di kemudian hari, peluang, atau rentan korupsi harus diperbaiki sistemnya,” ujar Firli.
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menambahkan, dari kajian KPK, diperlukan adanya harmonisasi regulasi dan hubungan kelembagaan antara BPKH dan Kementerian Agama (Kemenag).
Perlu ada penyelarasan substansi antara UU No. 34 Tahun 2014 dan UU No. 8 Tahun 2019.
Disharmoni ini dapat dilihat dari perbedaan definisi BPIH, mekanisme penetapan BPIH, serta pelaporan pertanggungjawaban PIH antara kedua UU tersebut.
Jika ditelaah, UU No. 8 Tahun 2019 dinilai mengabaikan fungsi dari BPKH dalam pengendalian dan pengawasan keuangan haji.
Baca juga: Legislator PKS: Tambahan Operasional Dana Haji Tak Boleh Dibebankan kepada Jemaah
Di sisi lain, terdapat masalah dimana kinerja penempatan dan investasi yang belum terlalu optimal sehingga perolehan nilai manfaat belum optimal.
Pun, pemilihan BPS-BPIH pengelola nilai manfaat berpotensi rawan korupsi karena tidak semuanya melalui proses lelang, tetapi berdasarkan permohonan dari BPS-BPIH.
Juga masih lemahnya pengawasan dalam penyaluran dana kemaslahatan karena dilaksanakan tanpa tahapan sehingga rawan penyimpangan dan tidak sesuai dengan proposal yang diajukan.
Oleh karena itu, KPK merekomendasikan BPKH untuk menginventarisir masalah dengan segera memperbaiki tata kelola dan menutup celah-celah permasalahan dimaksud.
Seperti menyusun SOP penyaluran dana kemaslahatan secara bertahap untuk yang bernilai signifikan serta memperbaiki kinerja investasi dan penempatan dalam rangka peningkatan nilai manfaat.
“Dari seluruh pihak pengelola dana publik (terpenting) adalah masalah etik dan conflict of interest. Kredibilitas ini dilihat publik bagaimana (BPKH) menjalankan baik yang kelihatan maupun yang secara terukur telah dijelaskan,” kata Pahala.
Sementara itu, Kepala Badan Pelaksana BPKH Fadlul Imansyah mengucapkan terima kasih kepada KPK karena melalui kajian ini pihaknya dapat mengetahui pos-pos yang harus diperbaiki.
Meskipun begitu, BPKH berkomitmen untuk menjadi lembaga antikorupsi dimana saat ini BPKH telah menggunakan wistleblowing system (WBS).
Terkait permasalahan disparitas harga, Fadlul menjelaskan pihaknya akan berkoordinasi bersama Kemenag dan Komisi VIII DPR RI.
Termasuk saat ini, BPKH telah berkoodinasi intensif dengan Kemenag terkait penyelarasan UU untuk menemukan formula terbaik demi pengelolaan dana haji yang optimal.
Di sisi lain, Pemerintah Saudi, menurut Fadlul, pada tahun 2030 memiliki visi meningkatkan kuota jumlah jemaah haji dunia.
Dimana Indonesia sebagai negara muslim terbesar diharapkan oleh Kerajaan Saudi untuk mengambil kuota lebih banyak lagi. Jika terealisasi maka hal ini dapat memangkas masa tunggu jemaah.
“Pemerintah Saudi ingin meningkatkan kuota jemaah dari dua juta menjadi lima juta. Tentunya ini menjadi tantangan kita untuk meningkatkan kualitas layanan haji dan tidak akan meningkat jika dananya tidak cukup,” kata Fadlul.
Baca juga: 3 Kali Mangkir Pemeriksaan, KPK Buru Keberadaan Dito Mahendra
Terkait disparitas tarif, ke depan BPKH dan Kemenag sedang membuat sebuah PT di Saudi untuk berinvestasi seluruh kebutuhan Jemaah haji asal Indonesia.
Nantinya PT ini akan masuk ke ruang-ruang seperti pengelolaan penginapan atau logistik makanan yang dibolehkan oleh Saudi sehingga dapat menekan cost haji jemaah.
“Dengan dukungan KPK, BPKH akan terus lanjut (bekerja) secara produktif meningkatkan kualitas layanan haji,” katanya.