News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pelanggaran HAM

Negara Akui 12 Pelanggaran HAM Berat, Korban Tragedi Semanggi I Sebut Jokowi Pencitraan

Editor: Erik S
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Joko Widodo bersama Menko Polhukam Mahfud Md dan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu memberikan keterangan terkait pelanggaran HAM masa lalu di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu dan akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. BPMI/Muchlis Jr

"Saya berharap Presiden Jokowi tidak ingkar janji untuk menyelesaikan kasus Semanggi I dan Semanggi II secara berkeadilan," kata Sumarsih.

"Janji itu tetuang di dalam Nawacita pada butir (ff.) bekomitmen untuk menyelesaikan kasus Semanggi I - Semanggi II – Trisakti dan pada butir (gg.) berkomitmen untuk menghapus impunitas," sambung dia.

Ia pun mengungkit bahwa pada pemilu tahun 2014 keluarga korban pelanggaran HAM berat terutama yang mengikuti Aksi Kamisan telah turut berkampanye memilih Jokowi.

Baca juga: Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat: Peristiwa 1965-1966 hingga Tragedi Trisakti dan Semanggi

Hal tersebut, kata dia, karena Nawacita memberikan pengharapan yang sangat
besar.

"Pemulihan yang diberikan (kepada) korban sesuai bunyi Keppres 17/2022 (tentang pembentukan Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu atau PPHAM) itu tidak bijaksana, justru jauh dari nilai- nilai kemanusiaan sebab nyawa manusia akan dipulihkan dengan pemberian materi berupa bantuan social, jaminan kesehatan, bea siswa, dan lain-lain," kata Sumarsih.

"Sementara itu janji pemilu 2014 yang tertuang di dalam Nawacita, Pak Jokowi berjanji/berkomitmen untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu secara berkeadilan dan juga berkomitmen untuk menghapus impunitas," sambung dia.

Menurutnya kesungguhan pemerintah agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang sangat diragukan. Hal tersebut, kata dia, sebab tidak ada penjeraan kepada para pelaku.

Gagalnya pengadilan HAM ad hoc Timor Timur, pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok, pengadilan HAM Abepura, dan pengadilan Paniai, menurutnya karena adanya rekayasa penghilangan barang bukti yang dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam perkara kekerasan aparat.

Baca juga: Peristiwa Petrus hingga Tragedi 1998, Inilah 12 Kejadian yang Diakui Sebagai Pelanggaran HAM Berat

"Kita bisa bercermin dalam rekayasa Ferdy Sambo terhadap pembunuhan Yosua. Tidak tertutup kemungkinan rekayasa penghilangan barang bukti juga dilakukan oleh para terduga pelanggar HAM berat yang kini semakin banyak menduduki jabatan stategis di pemerintahan," sambung dia.

Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar mengatakan hal tersebut harusnya perlu diikuti komitmen pemulihan dan rasa keadilan bagi korban.

Menurutnya pengakuan terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui permintaan maaf Presiden sebagai perwakilan negara atas adanya kejahatan kemanusiaan bukanlah hal baru.

Sejak tahun 1999, kata dia, Komnas HAM sudah menyampaikan rekomendasi demikian kepada pemangku jabatan Presiden saat itu. Tentu saja, lanjut dia, pengakuan dan permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dapat berdiri sendiri.

Pengakuan dan permintaan maaf tersebut, lanjut dia, harus ditindaklanjuti dengan rangkaian tindakan untuk memberikan hak-hak korban secara keseluruhan.

Baca juga: Presiden Jokowi Sesalkan Terjadinya 12 Pelanggaran HAM Berat di Tanah Air, Berikut Daftarnya

Sebaliknya, kata dia, tanpa ada pengakuan Negara atas adanya pelanggaran berat HAM maka
pemberian pemulihan bagi korban malah bersifat kontraproduktif dari upaya pemberian hak-hak korban.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini