Selalu diajarakan bahwa politik itu suci, bukan untuk kepentingan kekuasaan, uang dan lainnya.
“Apa gunanya berkuasa kalau pengangguran dan orang miskin banyak, harus ada kolerasinya untuk perbaikan kesenjangan hidup di Indonesia,” ucapnya.
Baca juga: Pemuda dan Mahasiswa Pendukung Ganjar, Dorong Kreativitas Anak Muda Wujudkan Indonesia Emas 2045
Ia menceritakan pengalaman bersama Gus Dur yang bertanya kenapa maju dari Jawa Barat untuk parlemen.
“Saya katakan saya menemukan Pancasila di tanah Pasundan di Subang, Majalengka, Jabar. Orang Jabar bisa menerima saya dari suku Batak, ini Islam nasionalis yang luar biasa,” katanya.
Karena itu, sebagai penganut Kristen yang Indonesia yang nasionalis, percaya diri dan mawas diri juga penting.
“Maranatha ini kampus Pancasilais. Maka tidak boleh melakukan diskriminasi. Saat Kristen besar, harus memberi kedilan, jangan hanya menuntut keadilan. Harus memberi keadilan ke saudara-saudara kita yang beragama lain,” ujar putera politisi dan negarawan Sabam Sirait ini.
Ara menceritakan saat ayahnya, Sabam Sirait menjadi Sekjen PDI masih setia memilih naik metromini.
Suatu hari saat turun dia melihat ada orang memasang liatrik di rumah. Ia tegaskan kalau hanya rumah dipasang listrik tidak rumah yang lain, tidak usah dipasang. Kalau mau pasang semua karena hubungan baik dengan semua tetangga. Ini tindakan seorang negarawan.
Menyinggung kepemimpinan Indonesia, Ara mengatakan Presiden Jokowi membangun infratruktur, berani mmbubarkan ormas, dia contoh pemimpin Pancasilais.
"Sama dengan Pak Bahlil juga gitu, Menteri Investasi/BPKM yang bisa mencapai target diperintahkan presiden. Mungkin jajaran sama, jabatannya sama, tapi ditangan orang berbeda. Maka jangan kita mau dijual dan digadaikan, dalam memilih pemimpin," ujarnya.
Menurutnya masalah Indonesia ini masih rumit. Masih ada serangan fajar, bagi sembako dan media yang tidak netral.
Banyak media berpolitik dan kepemilikan oleh ketua parpol. Bahkan bicara data yang berbeda.
Bagaimana untuk Indonesia Emas? Kata Ara syaratnya satu, harus edukasi pemilih, dilakukan oleh pemuda dan mahasiswa. Tugas ini sudah dilakuakn pemuda 1908 dengan Budi Utomo, pada 1928 Kongres Pemuda dan 1998 masa Reformasi.
“Kalian tidak boleh hanya pintar harus peduli bangsa ini. Kalau kritis ke kebijakan pemrintah dan mungkin kena pentungan, water canon, itu biasa. Mengingatkan pemerintah dan DPR adalah tugas mahasiswa, tetapi lebih salut lagi kalau saat Anda menjadi pejabat tetap ada konsistensi dalam perbuatan,” ucapnya.