News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pelanggaran Ham Berat

YLBHI Prediksi Pengakuan Jokowi soal 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat Berujung Ilusi dan Retorika

Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Tiara Shelavie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Joko Widodo bersama Menko Polhukam Mahfud Md dan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu memberikan keterangan terkait pelanggaran HAM masa lalu di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu dan akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. YLBHI memprediksi dan khawatir bahwa pengakuan Jokowi soal 12 kasus pelanggaran HAM berat akan berujung ilusi dan retorika semata jelang Pemilu 2024. BPMI/Muchlis Jr

TRIBUNNEWS.COM - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memprediksi dan mengkhawatirkan pengakuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait 12 kasus pelanggaran HAM berat berujung ilusi dan retorika.

Sehingga, YLBHI mendesak agar pengakuan Jokowi itu juga ditindaklanjuti dengan kebijakan yang strategis.

"YLBHI mendesak pengakuan dan penyesalan tersebut harus dibuktikan secara konkrit melalui proses hukum, tindakan dan keputusan-keputusan strategis," tulis YLBHI dalam keterangan persnya yang dikutip pada Sabtu (14/1/2023).

YLBHI juga mengkritik pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP HAM) sebagai pencitraan Jokowi di penghujung masa jabatannya.

Pembentukan tim ini, lanjutnya, dinilai hanya pemenuhan janji politik Jokowi serta pemberian hak impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat.

"Hal ini dapat kita lihat dalam 11 rekomendasi yang disampaikan oleh TPP HAM 11 Januari 2023 melalui Menkopolhukam Mahfud MD kepada presiden, di mana tidak ada satupun yang menyebutkan adanya dorongan pemerintah untuk akselerasi dan akuntabilitas penegakan hukum kasus-kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan HAM berat yang selama ini mangkrak di Kejaksaan Agung," papar YLBHI.

Baca juga: Soal Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat, Maruf Amin: Tak Semua yang Diinginkan Bisa Dipenuhi

Di sisi lain, YLBHI dan 18 LBH lainnya juga menyoroti pembentukan TPP HAM yang dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

YLBHI pun mengutip pasal 47 UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengatur bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui ekstra yudisial harus dibentuk melalui sebuah UU.

"Jadi mekanisme penyelesaian non yudisial yang hanya berdasar Keputusan Presiden tentu secara legitimasi hukum menjadi patut dipertanyakan kekuatan hukumnya, karena justru bertentangan atau melanggar Undang-Undang," tegas YLBHI.

4 Keraguan YLBHI soal Penyelesaian HAM Berat Era Jokowi

Menko Polhukam Mahfud Md mewakili Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu memberikan laporan kepada Presiden Joko Widodo terkait pelanggaran HAM masa lalu di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu dan akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. BPMI/Muchlis Jr (BPMI/Muchlis Jr)

YLBHI memiliki empat hal yang memunculkan adanya keraguan dalam penyelesaian HAM berat di era pemerintahan Jokowi.

Pertama, YLBHI menyoroti peran Jaksa Agung yang tidak serius mengungkap dan meminta pertanggunjawaban pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan melalui proses penyidikan yang independe, transparan, dan akuntabel oleh Kejaksaan Agung usai penyelesaian 12 penyelidikan kasus oleh Komnas HAM.

YLBHI mencontohkan kasus Semanggi I dan II yang dianggap bentuk ketidakseriusan Jaksa Agung dalam penyelesaian kasus HAM berat.

Hal tersebut lantaran Jaksa Agung menganggap peristiwa Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat.

Baca juga: Mahfud MD Jelaskan Langkah Pemerintah Setelah Presiden Akui Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Kedua, Jokowi justru mengangkat sosok yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM seperti Wiranto, Prabowo Subianto, dan Untung Budiharto.

"Selama pemerintahannya, alih-alih memutus impunitas melalui upaya pengungkapan kebenaran dan memberikan keadilan dengan menyeret para pelaku ke pengadilan serta menjamin ketidaberulangan," tegasnya.

Ketiga, tidak adanya pengakuan dan upaya penyelesaian beberapa peristiwa kasus pelanggaran HAM berat oleh Jokowi yang kini masih berproses di persidangan seperti Kasus Paniai (2014), Operasi Militer Timor Timur (1975-1999), Perisitwa Tanjung Priok (1984), Kasus 27 Juli 1996, Tragedi Abepura (2000), pembunuhan Theys Eluay (2001), dan pembunuha Munir (2014).

Terakhir, YLBHI mengkritik Jokowi yang tidak memiliki roadmap terkait penyelesaian pelanggaran HM berat.

"Pengakuan dan penyesalan tanpa diiringi pengungkapan kebenaran dan kejelasan siapa pelaku dan bagaimana pertanggungjawaban hukumnya justru akan menjadi permasalaham baru," kata YLBHI.

Baca juga: Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Yasonna: Pemerintah Berusaha Pulihkan Hak Korban

YLBHI pun mendesak agar pemerintah memberikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat seperti hak pemuliham hak atas kebenaran, dan hak atas keadilan agar jaminan ketidaberulangan betul-betul diwujudkan.

"Mendorong pihak berwenang sebagaimana mandat UU Pengadilan HAM untuk segera melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutuan serta mengadili secara independen dan akuntabel semua orang yang diduga bertanggungjawab atas pelanggaran HAM masa lalu," ungkapnya.

Sebelumnya, pada Rabu (11/1/2023), Jokowi mewakili negara telah mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat serta menyesal dan tidak akan membiarkan peristiwa serupa terjadi lagi.

Adapun 12 pelanggaran HAM berat yang diakui Jokowi yaitu peristiwa 1965-1966, penembakan misterius (Petrus) pada 1982-1985, peristiwa Talangsara di Lampung pada 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh pada 1989.

Lalu, peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999, pembunuhan dukun santet Banyuwangi pada 1998-1999, peristiwa Simpang KKA di Aceh pada 1999, peristiwa Wasior di Papua pada 2001-2002, peristiwa Wamena Papua pada 2003, dan yang terakhir adalah peristiwa Jambo Keupok di Aceh pada 2003.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)

Artikel lain terkait Pelanggaran HAM Berat

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini