TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hukum pidana Prof Agus Surono menyatakan, seorang bawahan dalam suatu instansi bisa dibebaskan dalam jerat hukum jika yang bersangkutan mematuhi perintah atasan yang dia ketahui hal tersebut tidak melawan hukum.
Hal itu diungkapkan, Prof Agus saat dihadirkan sebagai ahli meringankan oleh kubu terdakwa Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria dalam sidang dugaan perintangan penyidikan atau obstraction of justice tewasnya Brigadir J, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (19/1/2023).
Agus memastikan soal perintah yang dilayangkan oleh atasan termuat dalam Pasal 51 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Yang paling penting esensi Pasal 51 Ayat 1 itu bisa tidak diterapkan itu pertama adalah harus ada perintah atasan yang berwenang yang mempunyai kewenangan untuk itu, kemudian yang kedua diberikan perintah itu kepada bawahannya," kata Prof Agus dalam persidangan.
"Nah, bawahan sudah melaksanakan perintah itu sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh atasannya," sambungnya.
Dengan begitu, maka bawahan yang menjalankan perintah tersebut bisa dibebaskan secara hukum jika apa yang diperintahkan tersebut ternyata salah.
Terlebih jika perintah tersebut kata dia, merupakan tugas pokok dan fungsi dari si bawahan. Maka perintah yang dijalankan oleh bawahan tidak melawan hukum.
"Kalau enggak ada unsur melawan hukumnya yang merupakan salah satu unsur intrinsik di dalam suatu pertanggungjawaban pidana tidak ada, maka ini tentu tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana kemudian Yang Mulia," kata dia.
Sebelumnya, Ahli pidana Prof Agus Surono menyatakan kalau perintah seseorang atasan untuk mengamankan sesuatu tidak termasuk dalam unsur melawan hukum.
Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan perkara dugaan perintangan penyidikan atau obstraction of justice tewasnya Brigadir J atas terdakwa Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria.
Agus Surono dihadirkan oleh tim kuasa hukum sebagai ahli meringankan untuk kedua terdakwa.
Mulanya, kuasa hukum kedua terdakwa, Henry Yosodiningrat mencecar pemahaman Agus sebagai ahli terkait perintah mengamankan dalam fungsi penyelidikan dan pengamanan.
Henry awalnya mencontohkan suatu kasus kalau ada seorang anggota polisi yang berpangkat Kombes memberi perintah kepada bawahannya.
Di mana, perintah itu juga datang dari atasannya, dan atasannya itu juga diperintah oleh atasannya yang lain.
Henry menyebut anggota polisi berpangkat Kombes ini tengah menjalankan fungsi penyelidikan dan pengamanan suatu perkara yang merupakan tugas pokok dan fungsi di divisinya.
Henry bertanya apakah anggota Kombes ini bisa dipidana jika ada kesalahan dalam perintah tersebut.
"Apakah dia melawan hukum atau tidak memberi perintah? Dia mempunyai kewenangan sesuai dengan peraturan Kadiv Propam? Melawan hukum atau tidak?" tanya Henry dalam persidangan, Kamis (18/1/2023).
Atas pertanyaan itu, Agus Surono menerangkan kalau pejabat Kombes tersebut memang benar menjalankan dua fungsi yakni penyelidikan dan pengamanan.
Oleh karenanya, Agus menilai kalau tindakan yang dilakukan oleh polri pejabat Kombes itu tidak melawan hukum.
Baca juga: Dalam Sidang Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria, Ahli Sebut Perintah Amankan Tidak Melawan Hukum
"Selama perintahnya menjalankan dua fungsi yang saya sebutkan yang tadi dipertegas kuasa hukum tadi yakni fungsi pengamanan dan fungsi penyelidikan adalah itu merupakan bagian yang diperintah maka ini tidak masuk dalam kualifikasi melawan hukum," ungkap Agus.
Dari pernyataan itu, Henry mempertegas pertanyaannya terkait hal tersebut.
Henry lantas menyinggung soal perintah amankan suatu objek dalam suatu perkara tembak menembak antar anggota polisi.
"Artinya orang yang berpangkat Kombes itu tadi tidak melawan hukum, karena perintahnya seperti ini contoh mengamankan ini HP ini, kemudian dalam rangka penyelidikan dalam suatu peristiwa tembak menembak anggota Polri, menjanlankan fungsi Propam atau Paminal. Apakah itu perintah yg melawan hukum?" tanya lagi Henry.
"Ketika perintah itu diberikan oleh atasan yang memang mempunyai kewenangan untuk itu dan isinya perintah dalam rangka menjalankan dua fungsi tadi, maka itu tidak masuk dalam kualifikasi tadi melawan hukum demikian Yang Mulia," tegas Prof Agus.
Sebagai informasi, sejauh ini, Agus Nurpatria masih berpangkat sebagai Kombes Pol di Polri meski sudah ditetapkan sebagai terdakwa atas kasus obstruction of justice tewasnya Brigadir J.
Saat itu Agus Nurpatria menjabat sebagai Kaden A Biro Paminal yang dalam perkara ini mendapat perintah untuk mengamankan kamera DVR CCTV di Komplek Polri usai Brigadir J tewas.
Sementara itu, Hendra Kurniawan sudah disanksi berat yakni pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sebagai anggota Polri.
Saat peristiwa ini, Hendra masih menjabat sebagai Karo Paminal Polri berpangkat Brigjen yang mendapat perintah untuk mengamankan DVR CCTV dari mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.
Diketahui, Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yoshua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
Brigadir Yoshua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.
Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yoshua.
Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.
Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.
Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.
Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.