Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum PAN Yandri Susanto mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) segera memutuskan terkait sistem pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Diketahui, sejumlah pihak menggugat UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) ke MK terkait mekanisme pencoblosan calon legislatif (Caleg) dari sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
"Kita minta MK, terhadap gugatan sistem terbuka dan tertutup itu sebaiknya lebih cepat lebih baik diputuskan," kata Yandri saat konferensi pers di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/1/2023).
Baca juga: PKS Sebut 8 Partai yang Dikoordinir Golkar Perlu Bertemu Presiden Jokowi Bahas Sistem Pemilu
Yandri mengatakan belum diputuskannya sistem Pemilu membuat sejumlah para calon anggota legislatif (Caleg) terkesan tersandera.
"Karena khusunya di PAN dan para Caleg maupun yang lama atau yang baru itu sepertinya tersandera dalam tanda kutip, (ada) pertanyaan "apakah tertutup atau terbuka" ini," ujarnya.
Ia menilai apabila MK memutuskan menjadi sistem Pemilu proposional tertutup maka akan banyak yang mundur secara masal.
"Kalau tertutup jelas, tsunami bagi pencalegan, artinya kemungkinan mundur secara masal itu terjadi," ungkap Yandri.
Sebaliknya, kata Yandri, apabila memakai sistem proporsional terbuka maka kualitas demokrasi sangat tinggi.
Baca juga: Soal Sistem Pemilu Terbuka Tertutup, Pakar : Perubahan Seharusnya Melalui Diskusi di DPR Bukan MK
"Jadi Kita minta kepada MK, dan berharap keputusannya tetap sesuai 2008 yaitu sistem terbuka atau suara terbanyak murni," ucapnya.
Lebih lanjut, Yandri menilai apabila MK memutuskan sistem proposional tertutup demokrasi di Indonesia akan mundur.
Sebab, dinamika menyapa rakyat yang kerap dilakukan para Caleg sebelum Pemilu akan terhenti dan kegiatan ekonomi tidak maksimal.
"Karena kalau para Caleg ada ya masing-masing mereka mungkin cetak kalender, stiker. Semuanya itu akan menggerakkan ekonomi rakyat," imbuhnya.
Seperti diketahui, beberapa pihak termasuk sejumlah kader parpol menggugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.