News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polisi Tembak Polisi

Ramai Gerakan Bawah Tanah, Kompolnas, IPW dan Kubu Brigadir J Bicara Soal Power Ferdy Sambo

Penulis: Theresia Felisiani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Momen dimana terdakwa Ferdy Sambo saat akan menghadiri sidang lanjutan di persidangan pembunuhan berencana Brigadir Nofriansah Yosua Hutabarat (Brigadir J) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (8/11/2022). Agenda persidangan hari ini pembacaan putusan sela oleh majelis hakim. Adanya gerakan bawah tanah untuk ringankan vonis Ferdy Sambo membuktikan bahwa eks jenderal bintang 2 itu masih punya power, begini kata Kompolnas, IPW dan kubu Brigadir J. Warta Kota/YULIANTO

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jelang sidang agenda pembelaan dan vonis, adanya gerakan bawah tanah untuk ringankan vonis terdakwa Ferdy Sambo makin ramai diperbincangkan.

Sebelumnya soal gerakan bawah tanah ini diungkap oleh Menkopolhukam Mahfud MD.

Kini gerakan bawah tanah untuk ringankan vonis Ferdy Sambo itu turut disoroti oleh Kompolnas dan IPW.

Bahkan kubu Brigadir J juga mempercayai meski ditahan dan berstatus terdakwa, power Ferdy Sambo masih sangat besar.

Kompolnas Tak Terkejut Ada Gerakan Bawah Tanah demi Ringankan Vonis Ferdy Sambo

Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benny Mamoto mengaku tak terkejut ada 'gerakan bawah tanah' di kasus Ferdy Sambo.

Karena menurutnya, sejak awal kasus ini bergulir sudah terendus indikasi adanya gerakan yang ingin membebaskan atau meloloskan Ferdy Sambo.

"Saya tidak terkejut, karena sejak awal kasus ini terjadi kan sudah penuh dengan upaya untuk lolos," kata Benny, dikutip dari youTube MetroTvNews, Senin (23/1/2023) .

Upaya gerakan bawah tanah itu, kata Benny, termasuk dengan adanya gugatan pihak Ferdy Sambo ke Presiden dan Kapolri di tengah kasus ini berlangsung.

Sebelumnya, Ferdy Sambo sempat menggugat Presiden RI Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta.

Gugatan tersebut terkait Pemberhentian Tidak Hormat (PTDH) pada mantan Kadiv Propam Polri itu.

"Pertama merancang skenario, kalau skenario itu bisa berjalan dia akan lolos tapi kan gagal."

"Upaya berikutnya, di tengah gugatan berjalan, ada gugatan PTUN dan ini tidak dirilis pengacarannya, media hanya tau dari web pengadilan."

"Biasanya kan kalau mengajukan gugatan, pengacara rilis di media, ini, tidak," ujar Benny.

Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto seusai gelar perkara kasus Brigadir J bersama kuasa hukum Brigadir J dan Bareskrim Polri di Mabes Polri, Jakarta Selatan pada Rabu (20/7/2022). Ia menyebut ekshumasi terkait autopsi ulang Brigadir Yoshua Hutabarat alias Brigadir J bakal segera dilaksanakan. (Tribunnews.com/ Igman Ibrahim)

Benny pun meyakini 'gerakan bawah tanah' ini tak akan berhenti dan akan terus berlanjut sepanjang kasus ini masih bergulir.

Menurutnya, akan ada upaya-upaya lain dari pihak tertentu untuk meringankan hingga meloloskan jerat pidana pada terdakwa Ferdy Sambo.

"Berikutnya saya yakin tidak akan berhenti diupaya ini, dia akan berusaha bagaimana putusannya ringan, kalau boleh sampai putusannya lolos," ucap Benny.

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut ada gerakan bawah tanah yang meminta terdakwa Ferdy Sambo dibebaskan.

Benny mengatakan, pernyataan Mahfud MD tersebut bermaksud untuk memberi peringatan pada seluruh pihak khusunya penegak hukum yang menangani kasus Ferdy Sambo.

"Inilah perlu kita waspadai bersama, apa yang disampaikan olah Pak Menkopolhukam adalah sebuah warning untuk semua pihak, khusunya untuk pihak yang menangani kasus ini untuk hati-hati," pungkasnya.

Kompolnas: Ferdy Sambo Masih Punya Jaringan dan Loyalis

Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto menyebut mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo masih memiliki loyalis yang bisa saja membantu membebaskannya dari jeratan hukum.

Hal tersebut diungkapkan Benny Mamoto menyoroti imbauan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD agar seluruh lembaga peradilan tidak terpengaruh gerakan-gerakan Ferdy Sambo dalam upaya bebas dari jeratan hukum.

"Pak Menkopolhukam mengingat semua pihak agar waspada dan tidak terpengaruh gerakan bawah tanah ini," kata Benny Mamoto dalam keterangannya kepada awak media, Senin (23/1/2023).

Benny mamoto menyebut, pihak yang menjadi loyalis bagi tertuntut pidana hukuman seumur hidup itu merupakan mereka yang merasa memiliki hutang budi karena pernah dibantu.

Benny menyatakan, gerakan dari para loyalis itu yang bakal diupayakan Ferdy Sambo untuk meloloskannga dari jeratan hukum.

"Ferdy Sambo punya jaringan dan punya loyalis, yaitu pihak yang merasa utang budi karena pernah dibantu," kata dia.

Bahkan kata Benny, langkah yang bisa dilakukan Ferdy Sambo tidak hanya ditempuh pada pengadilan tingkat pertama, melainkan hingga tingkat kasasi.

"Upaya akan terus dilakukan tidak hanya ditingkat PN, tapi juga banding dan kasasi serta Peninjauan Kembali," kata dia.

Baca juga: Hari ini Ferdy Sambo, Bripka Ricky Rizal dan Kuat Maruf Sampaikan Pembelaan

Terlebih kata Benny, upaya untuk meloloskan dirinya dari jerat hukum itu sudah dilakukan sejak kasus pertama kali mencuat.

Di mana, dengan cerdiknya, Ferdy Sambo merangkai sebuah skenario bahwa telah terjadi insiden tembak menembak tanpa melibatkan dirinya.

"Upaya untuk lolos dari jerat hukum sudah dilakukan FS sejak awal yaitu dengan membuat skenario yang akhirnya banyak menimbulkan korban anggota Polri yang kena kasus obstraction of justice," kata dia.

Ini Kata IPW Soal Ada Gerakan Bawah Tanah Coba Ringankan Vonis Ferdy Sambo

Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso menanggapi dugaan adanya 'gerakan bawah tanah' yang dilakukan sejumlah pihak untuk meringankan vonis Ferdy Sambo.

Ia menyoroti pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyebut adanya sosok Jenderal Bintang satu yang mencoba mempengaruhi vonis hukuman terhadap eks Kadiv Propam Polri itu.

Dari pernyataan yang disampaikan Mahfud MD, ada pihak yang menghendaki Ferdy Sambo divonis dengan hukuman 'huruf' yakni pidana seumur hidup atau mati, dan ada pula yang meminta dihukum dengan pidana angka yakni di bawah 20 tahun penjara.

Namun Sugeng Teguh Santoso menekankan bahwa tidak mungkin meminta Ferdy Sambo dibebaskan karena itu merupakan kewenangan Kejaksaan.

"Konteks Pak Mahfud terkait gerilya 'adanya bintang satu' yang ingin meminta putusan, saya tidak tahu apakah putusannya angka ataupun huruf. Tapi kan ada Pak Mahfud menyatakan (pihak tersebut) meminta dalam konteks wilayah kewenangan kejaksaan untuk meminta bebas, itu tidak mungkin ya," kata Sugeng, dalam tayangan Kompas TV, Senin (23/1/2023).

Dalam persidangan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J pun, fakta persidangan menunjukkan Ferdy Sambo terbukti menjadi aktor intelektual dalam kasus ini.

"Tidak mungkin memutus Sambo bebas, karena faktanya dia terbukti," jelas Sugeng.

Sugeng menilai bahwa yang dapat dilakukan saat ini oleh mereka yang memiliki kepentingan terhadap Ferdy Sambo ini adalah berupaya untuk meminta agar putusan atau vonis hakim mengarah pada pidana ringan.

"Tetapi yang bisa dilakukan, kalau ini dari pihak tertentu, baik di jaringannya Sambo maupun orang-orang di luar jaringannya Sambo, meminta putusan yang mengarah kepada keringanan Sambo," papar Sugeng.

Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso memenuhi panggilan MKD DPR pada Kamis (25/8/2022). Pemenuhan panggilan ini terkait dugaan aliran dana ke DPR yang sempat diungkapkannya di salah satu media online ketika diwawancara. (YouTube Kompas TV)

Menurutnya, upaya tersebut telah terlihatt saat penetapan status tersangka terhadap Ferdy Sambo.

Sugeng mengaku pihaknya memperoleh informasi bahwa saat itu, Ferdy Sambo telah menyiapkan sejumlah langkah awal.

Pengetahuannya tentang ranah ini bukan tanpa alasan, kata dia, Ferdy Sambo merupakan orang yang telah memiliki banyak pengalaman mengenai hal ini.

"Nah itu sudah terbukti, ketika Sambo ditetapkan sebagai tersangka, Indonesia Police Watch itu mendapat informasi ya, Sambo sudah menyiapkan setiap langkah atau memang dia adalah seorang ahli reserse yang berpengalaman," tutur Sugeng.

Mulai dari menyiapkan pengacara untuk orang-orang di sekitarnya yang turut menjadi tersangka, termasuk ajudannya yakni Richard Eliezer Pudihang Lumiu yang kni berstatus pula sebagai Justice Collaborator.

Hingga melakukan lobi terkait pemberian uang dan politik demi melancarkan tujuannya bebas dari jeratan hukum.

"Dari menyiapkan pengacara untuk semua orang yang tersangka, termasuk Eliezer (saat itu), melakukan lobi-lobi yang mengarah kepada pemberian sejumlah uang, melobi politik, bahkan melakukan perlawanan-perlawanan dalam tanda kutip, kami mendapatkan informasi itu," kata Sugeng.

Sugeng menambahkan bahwa apa yang diduga saat ini terkait adanya gerilya gerakan bawah tanah untuk meringankan vonis Ferdy Sambo, merupakan bagian dari perjuangan sejak awal.

"Nah, konteks sekarang itu sebetulnya bagian dari perjuangan yang akan dilakukan oleh Ferdy Sambo dari awal, ya itu bukan sesuatu yang baru," jelas Sugeng.

Oleh karena itu, informasi yang disampaikan Menkopolhukam Mahfud MD terkait adanya gerakan ini, menurutnya karena gerakan ini kini semakin massive dilakukan lantaran telah memasuki tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Saat ini, kata dia, yang membuat publik penasaran adalah siapa sebenarnya pihak yang memiliki kepentingan terhadap vonis Ferdy Sambo.

"Kalau Pak Mahfud kemudian mendapatkan informasi, mungkin ini pergerakannya lebih intensif ketika mendekati tuntutan. Kita mau melihat, siapa sebetulnya yang berkepentingan," pungkas Sugeng.

Ketua Indonesian Police Watch, Sugeng Teguh Santoso (Ist)

Perlu diketahui, dalam sidang tuntutan yang digelar pada 17 Januari lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Ferdy Sambo dengan hukuman pidana penjara seumur hidup.

Lalu untuk tuntutan yang diajukan JPU terhadap sang istri yakni Putri Candrawathi pada 18 Januari lalu adalah pidana 8 tahun penjara.

Sedangkan Richard Eliezer Pudihang Lumiu yang juga berstatus sebagai Justice Collaborator, pada hari yang sama JPU mengajukan tuntutan hukuman pidana 12 tahun penjara.

Sementara pada 16 Januari lalu, Ricky Rizal dan Kuat Maruf dituntut dengan tuntutan pidana 8 tahun penjara.

Kuasa Hukum Keluarga Brigadir J: Ferdy Sambo Punya Uang Banyak dan Jaringan

Kuasa Hukum Keluarga Brigadir Nofriansya Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Martin Simanjuntak menganggap apa yang disampaikan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD 'masuk akal'.

Sebelumnya Mahfud mencium adanya 'gerakan bawah tanah' yang sengaja dilakukan untuk mempengaruhi putusan Hakim terhadap pelaku pembunuhan Brigadir J, khususnya aktor intelektual kasus tersebut, yakni Ferdy Sambo.

Menariknya, Mahfud menyebut gerakan tersebut sebagai 'gerilya' dan dilakukan oleh dua kubu, yakni mereka yang meminta Ferdy Sambo bebas dan meminta mantan Kadiv Propam Polri itu untuk dihukum.

Martin menyampaikan bahwa bukan hanya Ferdy Sambo yang berharap mendapatkan keringanan hukuman, namun juga terdakwa lainnya yakni sang istri, Putri Candrawathi dan ajudannya Ricky Rizal dan Asisten Rumah Tangga (ART) Kuat Maruf.

Vonis ringan ini juga turut diharapkan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu yang berperan dalam Justice Collaborator pada persidangan kasus ini.

"Saya pikir yang mau diringankan itu bukan hanya Ferdy Sambo ya, tapi juga minimal istri dan juga para ajudan yang lain selain Richard (sebagai Justice Collaborator)," kata Martin, dalam tayangan Kompas TV, Senin (23/1/2023).

Pengacara keluarga Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Martin Simanjuntak berharap Ferdy Sambo mendapatkan hukuman minimal seumur hidup. (Tribunnews.com/Rahmat W Nugraha)

Martin menekankan bahwa sejak awal ia telah memperingatkan bahwa Ferdy Sambo memiliki uang dan jaringan (networking) yang luas.

Sehingga dinilai mampu mendorong terciptanya gerakan yang berupaya untuk melepaskannya dari jeratan pidana maupun meringankan hukuman pidananya.

"Sebenarnya sudah seringkali menyampaikan ini bahwa Ferdy Sambo itu memiliki uang yang banyak dan juga memiliki networking," jelas Martin.

Menurutnya, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari institusi Polri yang dilakukan terhadap Ferdy Sambo, tidak membuatnya kehilangan 'kekuatan'.

Karena Ferdy Sambo masih memiliki sisi tawar lantaran posisi yang pernah dijabatnya sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam).

"Ferdy sambo lepas jabatan (Kepala) Div Propam, bukan berarti jaringannya meninggalkan dia. Ada sebagian yang cari aman meninggalkan dia, namun ada juga sebagian yang loyal ya, loyalitas atau loyal karena bargaining," tegas Martin.

Martin kemudian menyebutkan buku hitam yang kerap dipegang Ferdy Sambo saat memasuki ruang persidangan kasus ini.

Ia menilai Ferdy Sambo memiliki banyak catatan penting yang siap diungkap dalam buku tersebut, jika situasi mulai merugikannya.

"Coba lihat buku hitam yang suka dibawa-bawa pak Ferdy Sambo ya, itu saya pikir ada banyak informasi di situ mengenai 'utang-utang seseorang' ya, baik material maupun immaterial," pungkas Martin.

Baca juga: Kejaksaan Agung Klaim Tuntutan Ferdy Sambo dkk Bukan Tekanan Pimpinan

Perlu diketahui, dalam sidang tuntutan yang digelar pada 17 Januari lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Ferdy Sambo dengan hukuman pidana penjara seumur hidup.

Lalu untuk tuntutan yang diajukan JPU terhadap sang istri yakni Putri Candrawathi pada 18 Januari lalu adalah pidana 8 tahun penjara.

Sedangkan Richard Eliezer Pudihang Lumiu yang juga berstatus sebagai Justice Collaborator, pada hari yang sama JPU mengajukan tuntutan hukuman pidana 12 tahun penjara.

Sementara pada 16 Januari lalu, Ricky Rizal dan Kuat Maruf dituntut dengan tuntutan pidana 8 tahun penjara.

Kejaksaan Agung Klaim Tuntutan Ferdy Sambo dkk Bukan Tekanan Pimpinan

Kejaksaan Agung menepis rumor tuntutan pada Ferdy Sambo dkk dalam perkara dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Seperti diketahui, rumor yang berkembang mengatakan adanya unsur tekanan dari pimpinan dalam tuntutan yang dibacakan tim jaksa penuntut umum (JPU).

Kejaksaan Agung memastikan bahwa penuntutan terhadap Ferdy Sambo dkk merupakan kewenangan dari tim JPU.

"Di sini ada istilahnya tekanan dari pimpinan, tidak ada. Murni dari penuntut umum," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana dalam keterangannya pada Minggu (22/1/2023).

Pihak Kejaksaan Agung juga mengklaim bahwa tuntutan yang dilayangkan sudah sesuai dengan fakta-fakta persidangan yang ada.

Fakta-fakta tersebut pun kemudian disampaikan kepada pimpinan untuk disetujui.

"(Fakta-fakta persidangan) dinilai oleh penuntut umum, kemudian penuntut umum menyampaikan kepada pimpinan, pimpinan tentunya menyetujui apa yang disampaikan," ujar Ketut.

Baca juga: IPW Duga Brigjen Eks Satgasus Merah Putih yang Lakukan Gerakan Bawah Tanah, Agar Vonis Sambo Ringan

Berdasarkan fakta-fakta persidangan yang ada, Ketut menjelaskan adanya pembagian tiga klaster dalam kasus ini.

Klaster pertama adalah pleger (pelaku) yang terdiri dari intellectual dader (pelaku intelektual) dan dader (pelaku tindak pidana).

Dalam perkara ini, jaksa telah menilai Ferdy Sambo sebagai intellectual dader dan Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu sebagai dader.

Kemudian klaster kedua merupakan medepleger, yaitu orang yang turut serta melakukan tindak pidana.

Klaster kedua ini menurut Ketut, terdiri dari Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf.

"Mereka sebagai orang yang memang tahu adanya suatu tindak pidana pembunuhan berencana, tetapi tidak secara langsung menyebabkan kematian," ujarnya.

Adapun klaster ketiga terdiri dari para terdakwa obstruction of justice atau perintangan penyidikan dalam perkara ini.

Mereka ialah Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Arif Rachman Arifin, Irfan Widyanto, Chuck Putranto, dan Baiquni Wibowo.

Menurut Ketut, klaster ketiga ini telah melakukan tindak pidana di luar pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Tetapi pasal 55 ayat ke-1 (KUHP) yang kita dakwakan. Jadi masing-masing ini tidak bisa disamakan," katanya.

Baca juga: Mahfud MD Sebut Ada Gerakan Bawah Tanah Ferdy Sambo, Kompolnas: Artinya Indikasi Itu Sudah Tercium

Sebagai informasi, dalam perkara ini tim JPU telah menuntut Ferdy Sambo hukuman penjara seumur hidup.

Kemudian Richard telah dituntut 12 tahun penjara oleh tim JPU.

Sementara tiga terdakwa lainnya, yakni Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf telah dituntut delapan tahun penjara.

Para terdakwa disebut JPU telah terbukti melanggar Pasal 340 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan primer.

Ada Gerakan Bawah Tanah Minta Sambo Dibebaskan

Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD menyebut ada gerakan bawah tanah yang meminta terdakwa Ferdy Sambo dibebaskan.

Mereka kabarnya bergerilya untuk sengaja mempengaruhi vonis Ferdy Sambo.

Namun, Mahfud MD menjamin Kejaksaan Agung tetap independen dan tak akan terpengaruh akan hal itu.

"Saya sudah mendengar ada gerakan-gerakan yang minta memesan putusan Ferdy Sambo itu agar dengan huruf, tapi ada juga yang minta dengan angka."

"Ada yang bergerilya, ada yang ingin Ferdy Sambo dibebaskan dan ada yang ingin Sambo dihukum."

"Tapi kita bisa amankan itu di Kejaksaan. Saya pastikan Kejaksaan independen, tidak berpengaruh dalam gerakan-gerakan bawah tanah itu," kata Mahfud MD, Kamis (19/1/2023) dikutip dari YouTube KompasTv.

Jika ada yang mengatakan pelaku adalah seorang aparat hukum berpangkat Brigjen, Mahfud siap membantu menghadapinya.

"Ada bilang, ada katanya (yang meminta Ferdy Sambo dibebaskan) seorang Brigjen dan ia mendekati si A, si B."

"Saya bilang Brigjennya siapa, suruh sebut ke saya nanti di sini saya punya Mayjen banyak kok."

"Kalau ada yang bilang dia seorang Mayjen yang mau menekan pengadilan atau Kejaksaan, di sini Saya punya Letjen, jadi pokoknya (Kejaksaan) independen," jelas Mahfud.

Mahfud MD di kantor Kemenko Polhukam RI Jakarta Pusat, Kamis (19/1/2023) (kiri), Ferdy Sambo di PN Jaksel, Selasa (17/1/2023) (kanan). (Tribunnews.com/Gita Irawan/Jeprima)

Mahfud mengatakan, hal ini sangat mungkin terjadi.

Pasalnya banyak orang tertarik pada kasusnya Ferdy Sambo.

"Pasti ada orang yang lalu bergerak ketemu, karena orang sangat tertarik pada kasusnya Sambo," ujar Mahfud. (tribun network/thf/Tribunnews.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini