TRIBUNNEWS, JAKARTA - Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) meminta masyarakat agar lebih bijak memilih kemasan pangan yang aman. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari bahaya kesehatan keracunan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang telah menewaskan lebih dari ratusan anak di Indonesia.
Hal itu disebabkan zat-zat kimia ini ternyata tidak hanya digunakan sebagai pelarut dalam sirup obat batuk saja tapi juga ada dalam kemasan pangan plastik sekali pakai seperti air minum dalam kemasan botol dan galon sekali pakai.
Pengurus Persatuan Dokter Umum Indonesia (PDUI), Dr. Catherine Tjahjadi menyebutkan EG dan DEG yang ada dalam kemasan pangan itu bisa saja terlepas ke dalam produknya. Apalagi banyak para pedagang yang menjual kemasan-kemasan ini dengan meletakkannya di panas matahari alias dijemur. Bukan hanya itu, kemasan pangan sekali pakai yang mengandung EG dan DEG seperti botol-botol dan galon minum sekali pakai ini diisi ulang berkali-kali oleh sebagian masyarakat.
Menurutnya penggunaan galon sekali pakai yang tidak tepat bisa membuat kandungan EG dan DEG itu terlepas dari kemasan dan mengkontaminasi produknya.
“EG dan DEG ini harusnya bahan kimia yang ada di industri sebagai antibeku dan lain-lain, tapi ternyata ada juga di kemasan segala macam. Yang jelas, zat-zat ini bisa membahayakan kesehatan anak-anak di Indonesia,” tegas Dr. Catherine Tjahjadi.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa EG dan DEG ini merupakan zat yang tidak berwarna dan tidak berbau tapi rasanya manis. “Nah, rasa manis dari EG dan DEG inilah yang kemungkinan membuat orang suka nggak ngeh bahwa itu adalah zat kimia sehingga senang untuk mengonsumsinya. Padahal, jika sering diminum, zat-zat ini akan menumpuk di dalam tubuh dan bisa mengganggu kesehatan,” tuturnya.
Menurut Catherine, EG dan DEG membahayakan kesehatan anak-anak disebabkan karena zat-zat kimia ini sangat mengganggu keseimbangan asam dan basa di dalam tubuh. Dia mengutarakan ketika EG dan DEG tertelan ke dalam tubuh, zat ini akan membentuk senyawa yang disebut glycolic acid atau asam glikolat. Kondisi ini menyebabkan asidosis metabolik atau ketidakseimbangan asam basa di dalam tubuh. Karena terjadi asidosis metabolik ini, lanjutnya, asam glikolat yang terbentuk saat EG dan DEG tertelan juga diubah menjadi oksalat. “Oksalat ini kemudian berikatan dengan kalsium membentuk kalsium oksalat. Nah, inilah yang kalau jumlahnya banyak dan menumpuk bisa bikin gangguan dari organ tubuh di otak, paru-paru, ginjal, dan sebagainya,” katanya.
Dr. Catherine Tjahjadi menambahkan EG dan DEG itu tidak hanya menyebabkan gangguan ginjal saja, tapi juga syaraf dan paru-paru. Untuk gangguan syaraf, menurutnya, keracunan EG dan DEG ini sama dengan keracunan etanol yang gejala-gejalanya adalah mengantuk, linglung, gelisah, bicara melantur, dan disorientasi seperti orang mabuk.
Keracunan EG dan DEG ini juga memiliki gejala mudah capek saat berlari, nafas terengah-engah dan pendek, serta sesak nafas. Selain itu juga terjadi perubahan tekanan darah, bisa tinggi atau malah bisa rendah, dan denyut jantungnya menjadi sangat cepat tidak beraturan. Kalau untuk gangguan ginjalnya, gejalanya adalah mual, muntah, kencingnya berkurang dan tidak bisa buang air kecil.
“Nah, kenapa yang lebih disorot itu ke gangguan ginjalnya, karena gejalanya yang ke ginjal itu lebih spesifik, jadi mungkin itu yang lebih mudah terlihat sama dokter,” tuturnya.
Chaterine mengatakan PDUI sangat peduli terhadap masalah EG dan DEG ini. Karenanya, menurut dia, PDUI juga ikut melakukan edukasi terkait EG dan DEG ini kepada setiap pasien saat datang berobat ke dokter, dan juga melalui pos pelayanan terpadu (Posyandu). “Kita lebih bergerak dari segi sosialisasi di masyarakat. Kita selalu menyarankan agar masyarakat harus lebih bijak memilih pangan dan kemasan pangan yang aman,” tukasnya.
Dr. Catherine Tjahjadi juga meminta masyarakat perlu untuk memilih dengan bijak kemasan-kemasan pangan yang aman untuk kesehatan. Menurutnya, kesadaran masyarakat akan kemasan yang aman untuk kesehatan perlu mulai dibangun dari keluarga. PDUI juga berharap edukasi mengenai bahaya EG dan DEG ini dilakukan di lingkungan sekolah.
“Jadi, seharusnya guru-guru di sekolah-sekolah juga dibekali mengenai bahaya dari EG dan DEG ini. Karena anak-anak kan biasanya lebih dengar apa yang disampaikan guru-guru mereka ketimbang orang tua yang ngomong. Jadi harus dimulai dari eduksi yang kecil-kecil seperti itu,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Nasional Anak (Komnas Anak), Arist Merdeka Sirait, juga meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan peringatan berupa pelabelan ‘berpotensi mengandung etilen glikol’ terhadap kemasan-kemasan pangan berbahan EG dan DEG ini. “Hal itu mengingat plastik-plastik yang dipakai seperti galon sekali pakai, ketika dia mengandung etilen glikol maka isi dari kemasan itu bisa bermigrasi dan berbahaya bagi kesehatan anak,” tukasnya.
Arist menegaskan Komnas Anak sangat konsen terhadap air minum atau makanan yang berbahaya bagi anak-anak seperti halnya etilen glikol yang disebutkan bisa mengakibatkan gagal ginjal. “Kami sangat prihatin terhadap kondisi anak-anak di Indonesia yang saat ini banyak yang menderita gagal ginjal,” ujarnya.
Komnas Anak melihat banyak produk plastik yang salah satunya adalah galon sekali pakai yang dikonsumsikan oleh anak-anak, baik bayi dan balita. “Karenanya, kami akan terus mengkampanyekan bahaya etilen glikol ini ke masyarakat. Semua produk yang digunakan oleh rumah tangga dalam bentuk plastik termasuk galon sekali pakai itu harus ada peringatan bahwa kemasan itu mengandung etilen glikol pada labelnya,” katanya.