TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Vonis mati atas terdakwa pembunuhan berencana, Ferdy Sambo secara mainstream dianggap setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya, yakni merencanakan pembunuhan atas mendiang Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Namun, Peneliti Senior SETARA Institute, Ismail Hasani mengatakan dalam konstruksi hukum hak asasi manusia (HAM), hukuman mati adalah bentuk pelanggaran hak hidup. Hak hidup adalah given dan nilai universal bagi rezim hukum HAM dan dianut negara-negara beradab.
"Artinya dalam menghukum orang yang dianggap bersalah, negara melalui pranata peradilan tidak diperkenankan menghukum mati, apapun jenis kejahatannya," kata Ismail Hasani, Selasa (14/2/2023).
Baca juga: Sama Seperti Sambo dan Putri, Hukuman Kuat Maruf Lebih Berat Dibanding Tuntutan: 15 Tahun Penjara
Ismaill menuturkan, memang dapat dimaklumi, bahwa hakim mengambil vonis mati karena pidana mati masih dianggap sebagai hukum positif, meski arus utama para pembentuk UU sudah meletakkan hukuman mati sebagai pidana alternatif dalam KUHP baru.
Pengadilan di tingkat banding dan kasasi masih memungkinkan negara mengkoreksi pidana mati dengan hukuman lain yang setimpal dan membuat efek jera.
"Paralel dengan peristiwa yang melilit sejumlah anggota Polri, peristiwa Sambo harus menjadi pembelajaran serius bagi Polri. Bukan hanya fokus membenahi citra tetapi kinerja. Agenda reformasi Polri harus kembali digerakkan setelah mandek dalam satu dekade terakhir," tuturnya.
IPW Nilai Kejahatan Ferdy Sambo Tidak Pantas Dijatuhi Hukuman Mati
Indonesia Police Watch (IPW) menilai putusan vonis mati atas Ferdy Sambo harus dihormati. Namun IPW menilai putusan ini adalah problematik.
Baca juga: Disparitas Vonis dengan Tuntutan Pidana di Perkara Sambo Cs, Pakar Hukum: Jaksa Perlu Koreksi Diri
Pasalnya, hakim Wahyu Imam Santoso dengan putusannya meletakkan potensi problem baru pada Polri.
"Sambo tentu kecewa dengan putusan ini dan akan banding serta berjuang sampai kasasi atau PK," kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso, dalam siaran pers, Senin (12/2/2023).
Menurut Sugeng, putusan majelis hakim tidak memasukkan hal-hal yang meringankan.
Padahal fakta tersebut ada seperti sopan, belum pernah dihukum, memiliki pengabdian, dan prestasi selama menjabat.
Pada sisi lain IPW melihat kejahatan Ferdy Sambo tidak layak untuk hukuman mati.
"Kejahatan tersebut memang kejam akan tetapi tidak sadis bahkan muncul karena lepas kontrol. Motif dendam atau marah karena alasan apa pun yang diwujudkan dengan tindakan jahat yang tidak menimbulkan siksaan lama sebelum kematian bukan kejahatan sadisme," kata Sugeng.
Dia menilai, Sambo masih akan berpotensi mendapat putusan lebih rendah pada tahap selanjutnya karena hal yang meringankan tidak dipertimbangkan sama sekali.
"Putusan mati ini adalah putusan karena tekanan publik akibat pemberitaan yang masif dan hakim tidak dapat melepaskan diri dari tekanan tersebut," kata Sugeng.
Baca juga: Pil Pahit bagi Ferdy Sambo, Divonis Mati 4 Hari setelah Hari Ulang Tahunnya yang ke-50
Ferdy Sambo Divonis Mati
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis pidana mati terhadap terdakwa Ferdy Sambo.
Hakim menyatakan perbuatan terdakwa Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana turut serta merampas nyawa seseorang dengan perencanaan terlebih dahulu sebagaimana yang didakwakan.
Dalam putusannya majelis hakim menyatakan, Ferdy Sambo bersalah melanggar Pasal 340 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan primer dari jaksa penuntut umum (JPU).
Tak hanya itu, Ferdy Sambo juga dinyatakan bersalah melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dalam kasus dugaan perintangan penyidikan atau obstruction of justice tewasnya Brigadir J.
Diketahui, putusan ini lebih berat dibandingkan tuntutan dari jaksa yang menuntut Ferdy Sambo dengan pidana seumur hidup.
"Menyatakan, mengadili terdakwa Ferdy Sambo SH. SiK MH, dipidana mati," kata Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Selatan Wahyu Iman Santoso dalam persidangan, Senin (13/2/2023).