TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pahrozi, penasihat hukum terdakwa kasus dugaan korupsi Helikopter AW-101 di TNI Angkatan Udara (AU) Tahun Anggaran 2016, John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh, berpendapat lembaga negara seharusnya mempertanggungjawabkan uang negara yang dipercayakan untuk suatu kegiatan pengdaan barang dan jasa, baik yang disimpan di dalam kas kementerian/lembaga maupun pada pihak ketiga yang dikenal dengan istilah "escrow account" atau rekening penampungan.
Sebab itu, katanya, terkait penyitaan uang negara yang ada di TNI AU sebesar Rp153 miliar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 22 Agustus 2022.
Dimana TNI AU telah bersurat kepada KPK untuk mengklarifikasi bahwa uang yang disita tersebut merupakan uang negara untuk pembayaran Termin 3 dan Termin 4 pengadaan Helikopter AW-101, sudah seharusnya KPK mengembalikan uang itu, dan TNI AU berkewajiban untuk mengupayakan pengembalian uang tersebut.
Baca juga: KPK Selisik Aset Tanah Milik Lukas Enembe di Jayapura
Kini, dana yang disita KPK sebesar Rp139,43 miliar itu sudah berbunga menjadi Rp153 miliar.
"Jadi, Panglima TNI dan/atau TNI AU harus aktif berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertahanan untuk mengupayakan supaya KPK mengembalikan uang tersebut, karena dasar "escrow account" tersebut adalah Peraturan Panglima TNI No 23 Tahun 2012," kata Pahrozi dalam rilisnya, Kamis (16/2/2023).
"Saya mengharapkan Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara dan Menteri Pertahanan selaku pengguna anggaran serta Panglima TNI segera menyikapi penyitaan uang negara oleh KPK tersebut," pinta Pahrozi.
Sebab, kata Pahrozi, penyitaan uang negara tersebut melanggar Pasal 50 Undang-Undang (UU) No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, karena itu jangan ada pembiaraan.
“Termasuk Presiden selaku Kepala Negara harus memberi arahan kepada KPK dan ‘stakeholders’ (pemangku kepentingan) terkait supaya hal itu tidak terjadi lagi di masa mendatang,” harapnya.
Lebih jauh Pahrozi mengungkapkan, selain menyita uang negara secara tidak sah, KPK juga melakukan penghitungan sendiri terhadap kerugian negara, sehingga hal tersebut ilegal.
Baca juga: Dakwaan KPK: Hakim Agung Sudrajad Dimyati Terima Suap 200 Ribu Dolar Singapura
Lembaga antirasuah itu juga ia nilai melanggar undang-undangnya sendiri, yakni UU No 30 Tahun 2002 yang diperbarui dengan UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK, khususnya Pasal 11 ayat (1) huruf a, yaitu KPK melakukan penegakan hukum terhadap swasta tunggal, tanpa adanya pihak penyelenggara negara.
Tidak itu saja. Menurut Pahrozi, fakta yang terbukti di persidangan adalah tidak ada kerugian negara, karena Heli AW-101 sudah diterima negara, sudah menjadi barang milik negara (BMN), telah masuk dalam Laporan Keuangan (LK) Kementerian Pertahanan/TNI 2019 sebagai KDP (Konstruksi dalam Pengerjaan) sebesar Rp599,47 miliar dan dana yang dibatasi penggunaannya sebesar Rp139,43 miliar, dan saat ini Heli AW 101 sedang dilakukan pemeliharaan dan perawatan oleh Kemhan.
"Walaupun sudah ada bukti-bukti tersebut di atas, namun KPK tetap melakukan proses hukum terhadap Irfan atau pihak swasta dan menjadi terdakwa tunggal, tanpa ada tersangka dari penyelenggara negara, dan KPK telah melakukan penghitungan audit kerugian negara sendiri dengan kesimpulan 'total loss' terkait pengadaan Helikopter AW-101," tandasnya.
Baca juga: Sidang Kasus Helikopter AW-101, Penasihat Hukum: JPU KPK Imajinatif!
Sebelumnya diberitakan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut agar terdakwa John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh alias Irfan Kurnia dihukum pidana penjara selama 15 tahun.
Jaksa juga meminta majelis hakim menjatuhi pidana denda kepada Direktur PT Diratama Jaya Mandiri sekaligus pengendali PT Karsa Cipta Gemilang itu sebesar Rp1 miliar.