TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hubungan Partai Demokrat dan PDI Perjuangan (PDIP) mulai memanas lantaran saling mengklaim sebagai partai wong cilik.
Kali ini, partai berlambang mercy menyindir balik PDIP soal kasus korupsi bantuan sosial (bansos).
Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani menyampaikan bahwa kritik dari PDIP soal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak menunjukkan kebijakan yang pro wong cilik menunjukkan minimnya literasi.
Kamhar pun membandingkan terkait rasio subsidi pemerintah SBY dan pemerintahan presiden Joko Widodo (Jokowi).
Subsidi disebut menjadi salah satu merupakan manifestasi kebijakan pro rakyat.
"Bisa dibandingkan data yang menunjukkan ketidakberpihakan terhadap wong cilik yang tercermin dari besaran rasio subsidi Pemerintahan Jokowi 2015-2023 hanya sebesar 9,77 persen," ujar Kamhar dalam keterangannya, Kamis (16/3/2023).
"Pemerintahan Ibu Megawati 2001-2004 sebesar 17,33 persen, sementara Pemerintahan SBY jilid I 2004-2009 sebesar 20,45% dan Pemerintahan SBY jilid II sebesar 21,62%. Penanda hadirnya negara ditengah kesulitan rakyat," sambungnya.
Kamhar pun menyindir kader PDIP yang tertangkap dalam pusaran kasus korupsi bantuan sosial (Bansos) di era pemerintahan presiden Jokowi.
"Tak hanya lebih kecil, malah dana Bansos dikala rakyat sedang diterpa Pandemi Covid-19 justru di Korupsi oleh Menteri Sosial Juliari Batubara kader PDIP partainya Bung Hasto," jelasnya.
Kamhar menuturkan bahwa besarnya rasio subsidi pemerintahan SBY jilid II juga membantah tudingan bahwa PDIP soal SBY mengeksploitasi dana Bansos untuk kepentingan politik.
"Peningkatan alokasi anggaran subsidi di periode kedua Pemerintahan Pak SBY semata-mata sebagai penegas dan bentuk keberpihakan Pak SBY serta Partai Demokrat pada wong cilik, rakyat bangsa sendiri. Sebagai bentuk pelaksanaan kebijakan pro rakyat," tukasnya.
Diberitakan sebelumnya, Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Wanto Sugito menanggapi kritik Ketua Umum Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terkait kebijakan pemerintah Jokowi yang dinilai kurang berpihak kepada rakyat miskin atau wong cilik.
Ketua Umum Organisasi Sayap PDI Perjuangan (PDIP), Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM) ini menyatakan, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikenal gemar korupsi dan tidak pantas dibandingkan dengan pemerintahan Jokowi yang disebut bekerja untuk rakyat.
“AHY bisanya mengkritik pemerintahan Jokowi saja ya, mengkritik pemerintahan bapaknya tidak bisa, sekarang saya tantang deh sebutkan 10 keberhasilan SBY dan bandingkan dengan anggaran serta utang yang menumpuk selama pemerintahan SBY, kemudian buka itu korupsi Ketum Demokrat yang ironi dengan slogannya, Katakan tidak pada Korupsi," ujar Wanto kepada wartawan, Rabu (15/3/2023).
Ketua DPC PDIP Tangsel ini menyatakan bahwa pemerintah Jokowi sudah mengalokasikan untuk anggaran orang miskin sudah tepat sasaran. Di antaranya, program kebijakan rumah sakit gratis untuk rakyat melalui BPJS, peningkatan jaminan kesehatan dan sebagainya.
Karena itu, indeks kepuasan masyarakat terhadap pemerintah Jokowi mencapai 76,2 persen seperti yang dirilis oleh LSI.
Menurutnya, AHY seharusnya tak membandingkan komitmen pemerintah Jokowi untuk wong cilik dengan komitmen pemerintahan SBY yang dituding sebagai pemerintahan yang korup.
Baca juga: PDIP Jawab Kritik AHY soal Utang Pemerintah Terus Bertambah: Zaman Pak Jokowi Tak Ada yang Mangkrak
“Jaman SBY itu kan dana untuk orang miskin dipakai untuk dana pemilu melalui Bansos. Itulah yang membuat suara Demokrat naik menjadi 300%,” tegas Wanto.
Lebih lanjut, mantan aktivis 98 ini membeberkan kegagalan SBY terkait kesejahteraan wong cilik. Di mata Wanto, SBY punya banyak catatan merah.
Ia mengungkapkan kegagalan SBY ini diantaranya dibuktikan dengan menurunnya tingkat kesejahteraan petani, utang per kapita naik dari US$531,29 menjadi US$1.002,69 pada 2013.
Pembayaran bunga utang menyedot 13,6% dari anggaran pemerintah pusat. Postur APBN semakin tidak proporsional karena didominasi oleh pengeluaran rutin dan birokrasi serta turunnya lapangan kerja dari 436.000 menjadi 164.000.
Bahkan, kata dia, neraca perdagangan dari surplus US$25,06 miliar menjadi deficit US$4,06 miliar.
“AHY ini berulang kali saya katakan harus belajar baca data dulu terkait kegagalan bapaknya, baru kemudian mengkritisi kebijakan Jokowi," tukasnya.
Kritik AHY
Diberitakan sebelumnya, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyebut anggaran negara banyak membiayai proyek mercusuar atau pembangunan infrastruktur hanya untuk mendapatkan perhatian dari luar negeri.
Menurutnya, proyek-proyek itu justru tidak banyak berdampak bagi kehidupan masyarakat kecil atau wong cilik. Termasuk, berdampak terhadap rakyat miskin dan tidak mampu.
"Anggaran terlalu banyak digunakan untuk membiayai proyek-proyek mercusuar yang tidak banyak berdampak pada kehidupan wong cilik, tidak banyak berdampak pada saudara-saudara kita yang termasuk kategori miskin dan tidak mampu," ujar AHY dalam pidato kebangsaan di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Selasa (14/3/2023).
AHY menyebut proyek-proyek tersebut membuat defisit anggaran negara yang berimbas terhadap kenaikan utang negara. Bahkan dalam tiga tahun terakhir, kata AHY, utang negara mengalami kenaikan tiga kali lipat.
"Menurut Kementerian Keuangan, di awal 2023 ini angkanya mencapai Rp7.733 Triliun. Belum lagi utang BUMN yang semakin menggunung sebesar Rp1.640Triliun. Faktanya pula, rasio hutang terhadap PDB semakin tinggi," ungkapnya.
Lebih lanjut, AHY menambahkan bahwa pemerintah kini juga kesulitan untuk membayar utang karena keuangan negara terus mengalami tekanan. Nantinya, rakyat yang bakal menanggung utang itu lewat pajak.
"Lagi lagi ada pihak yang berdalih bahwa rasio hutang masih aman. Bukan itu soalnya, kini kita kesulitan membayar hutang karena keuangan negara juga tengah mengahdapi tekanan. Sejatinya rakyat juga yang akan menanggung hutang lewat pajak yang mereka bayar," tukasnya.