TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menjawab pertanyaan seputar dugaan transaksi mencurigakan senilai Rp300 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Di mana, belakang ini hal tersebut tengah bangat dibicarakan sejumlah pihak.
Baca juga: Soal Transaksi Mencurigakan di Kemenkeu, Komisi III DPR Minta PPATK Tegas dalam Bersikap
Mahfud ditanya hal tersebut oleh Ketua Indonesia Diaspora Network Melbourne Diana Pratiwi saat Dialog dengan Masyarakat Indonesia di Melbourne, Australia dalam forum yang dipandu oleh Konsul Jenderal RI di Melbourne Kuncoro Waseso, pada Kamis (16/3/2023) malam.
Dalam kesempatan itu, Diana bertanya terkait transaksi Rp 300 triliun yang diberitakan media dari jumpa pers di Kementerian Keuangan pada Selasa (14/3/2023) lalu.
Menjawab hal tersebut Mahfud menegaskan dirinya dan Menteri Keuangan Sri Mulyani kompak bertekad memperbaiki birokrasi dari korupsi.
Sri Mulyani, kata dia, sudah bekerja habis-habisan menata negara agar bebas dari korupsi. Dia pun mengatakan telah bekerja sama dengan Sri Mulyani terkait hal tersebut.
Baca juga: Ketika Mahfud MD Ditanya Dugaan Transaksi Janggal Rp300 Triliun di Kemenkeu saat Kunker ke Australia
"Perkembangannya kan positif, perkembangan terakhir itu (ketika) saya ke sini, ada pernyataan bahwa itu bukan korupsi itu bukan TPPU. Tetapi itu apa namanya, kalau ada belanja aneh, ada transaksi aneh kok bukan korupsi, bukan TPPU?" kata Mahfud dalam keterangan resmi Tim Humas Kemenko Polhukam RI, dikutip pada Jumat (17/3).
"Itu yang akan nanti saya jelaskan bersama Bu Sri Mulyani. Tapi saya tidak bisa menjelaskan dari sini. Itu tidak boleh, dan tidak etis. Itu akan selesai, dan percayalah itu karena niat baik kami. Bu Sri Mulyani dan saya teman baik dan selalu bicara bagaimana menyelesaikan. Sesudah saya pulang ke Indonesia, saya akan jelaskan," sambung dia.
Mahfud yang juga Ketua Komite Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) itu menegaskan masalah tersebut tidak boleh berhenti begitu saja dan harus dijelaskan kepada publik.
Oleh karena itu, sepulang dari kunjungan kerja di Australia pada Senin pekan depan, Mahfud sudah mengagendakan rapat dengan PPATK dan Kementerian Keuangan untuk membuat terang masalah tersebut.
Diberitakan sebelumnya, pimpinan PPATK mendatangi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait isu transaksi pegawai Kemenkeu senilai Rp 300 triliun.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengatakan kedatangannya ke Kemenkeu untuk berdiskusi terkait statement transaksi oleh pegawai Kemenkeu sebesar Rp 300 triliun.
Dia juga menjelaskan bahwa Kementerian Keuangan merupakan salah satu penyidik tindak pidana dari tindak pidana pencucian uang.
"Kementerian Keuangan merupakan salah satu penyidik dari tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2010, ujar Ivan Yustiavandana, dikutip dari YouTube Kompas TV, Selasa.
Kedatangan PPATK bukan dalam rangka ada atau tidaknya korupsi oleh pegawai kementrian keuangan, namun menyampaikan hasil analisis PPATK untuk ditindaklanjuti oleh penyidik kemenkeu.
Baca juga: DPR Berencana Panggil Mahfud MD dan PPATK Dalami Soal Transaksi Rp 300 Triliun Pegawai Kemenkeu
"Dalam posisi Kementrian keuangan sebagai penyidik tindak pidana asal dari kepabeanan, cukai dan perpajakan, di situ lah kami menyerahkan hasil analisis kepada Kementerian Keuangan untuk ditindaklanjuti dalam posisi Kementerian Keuangan sebagai penyidik tindak pidana asalnya," jelas Ivan Yustiavandana.
PPATK juga terus melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan dan aparat penegak hukum yang lain.
"Kami terus melakukan koordinasi, kami terus melakukan upaya bagaimana kasus ini bisa ditangani dengan baik, tidak hanya dengan Kementrian Keuangan tapi juga dengan aparat penegak hukum lain" ucapnya.
Ivan menambahkan, angka yang nilainya ratusan triliun tersebut merupakan angka yang terkait tindak pidana asal kepabeanan maupun perpajakan yang ditangani oleh Kementrian Keuangan sebagai penyidik tindak pidana asal.
MPR Usul Dirjen Pajak dan Kemenkeu Dipisah
Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad, menilai seharusnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak terpisah dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Hal ini buntut persoalan yang tengah menimpa sejumlah oknum pegawai pajak terkait harta kekayaan beberapa waktu belakangan.
Dia pun mempersilakan usulan ini menjadi bahan perbincangan di masyarakat dan tidak mutlak harus diwujudkan.
"Tidak mutlak harus dilaksanakan. Tapi, menjadi pertimbangan. Pertanyaan yang muncul. Pak Fadel, apakah mungkin ada negara lain yang pernah melaksanakannya?" kata Fadel di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat.
Fadel membeberkan bahwa usulan memisahkan Ditjen Pajak dari Kemenkeu justru sudah dilakukan sejumlah negara-negara di dunia.
Sebagai contoh, sebut Fadel, Amerika Serikat yang memiliki lembaga pajak sendiri bernama Internal Revenue Service (IRS).
"IRS merupakan lembaga otonom yang terpisah dari Kemenkeu AS," terangnya.
Meski demikian, lanjut Fadel, IRS tak sepenuhnya otonom karena masih berkoordinasi dengan Kemenkeu AS.
Namun, Fadel mengatakan dalam hal kewenangan untuk menentukan kebijakan, anggaran dan sumber daya manusia (SDM), mereka otonom.
"Coba kita ambil lagi negara-negara lain, Argentina, dan Singapura saja negara tetangga kita juga bisa demikian, itu di sana (Singapura) namanya Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS)," ungkap Fadel.
IRAS, jelas Fadel, tidak berada di bawah Kemenkeu Singapura meskipun mendapat supervisi dari dewan pengawas yang diketuai oleh Menteri Keuangan Singapura.
Kewenangan IRAS, beber Fadel, antara lain melakukan negosiasi perjanjian pajak dan membuat draf undang-undang perpajakan.
"Jadi banyak negara-negara lain, beberapa negara di Eropa sudah bikin hal yang sama. Sehingga ini timingnya tepat di saat lagi ramai sekarang masalah pajak ini," tutur Fadel.
Kendati begitu, dia menyadari bahwa usulan tersebut akan dirasa berat, terkhusus bagi Ditjen Pajak.
"Karena mereka merasa ini mainan besar dan sebagainya. Padahal ini adalah sesuatu nyawa, sesuatu paling penting buat pendapatan negara, kalau tidak, bagaimana kita mau membangun negara kalau pendapatan kita seperti ini," pungkasnya. (Tribun Network/Yuda).