Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara Diversi dan Restorative Justice yang belakangan kerap diperbincangkan dalam penanganan kasus penganiayaan Crsytalino David Ozora.
Seperti diketahui beberapa waktu yang lalu, berbagai pihak seperti Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Kejaksaan Agung melontarkan wacana peluang dua produk hukum pidana itu untuk diberikan kepada tersangka Mario Dandy dan kekasihnya AG dalam kasus penganiayaan.
Menyikapi hal tersebut Abdul Fickar mengatakan antara Restorative Justice dan Diversi sejatinya memiliki perbedaan sendiri meski memiliki tujuan utama yang sama yakni menyelesaikan kasus hukum agar dilakukan di luar ranah pengadilan.
Baca juga: Pakar Pidana Nilai AG Pacar Mario Dandy Tak Perlu Dapat Diversi, Ini Alasannya
Diversi dijelaskan Fickar merupakan penyelesaian kasus diluar pengadilan khusus dibuat dalam peradilan anak yang melibatkan semua unsur atau pihak di dalamnya.
"Diantaranya adalah pelaku, orang tua pelaku atau walinya, korban, orang tua korban lalu penegak hukum di tingkatan yang sedang ditangani, umpanya di penyidikan berarti kepolisian harus ada disitu," jelas Fickar ketika dihubungi Tribunnews.com, Minggu (19/3/2023).
Diversi ditegaskan Fickar hanya berlaku untuk di sistem peradilan anak, alhasil menurut Fickar Diversi tidak berlaku untuk peradilan umum.
"Diversi tidak berlaku di peradilan orang dewasa, atau peradilan umum," ucapnya.
Sementara itu untuk Restorative Justice dikatakan Fickar, tindak pidana memiliki dua aspek yakni aspek tindakan dan akibat dari tindak pidana tersebut.
Baca juga: Bukan Restorative Justice, AG Kekasih Mario Dandy Berpeluang Dapat Diversi
Ia pun menjelaskan bahwa aspek tindakan hukum yang bisa diterapkan Restorative Justice atau dimusyawarahkan adalah aspek akibat dari suatu tindak pidana yang diperbuat.
"Kerugian yang diderita oleh korban, itu yang bisa di Restorative Justicekan. Tetapi sebenarnya perbuatannya harus tetap dibawa ke pengadilan," ucapnya.
Karena sistem Restorative Justice hanya bisa dilakukan untuk aspek kerugian yang dialami korban, maka hal itulah yang menjadi landasan dikeluarkannya aturan penyelesaian masalah itu oleh Mahkamah Agung.
"Ini yang kemudian ada juga yang beranggapan dari pelaku merasa tidak adil ketika diberi ganti rugi dan kompensasi tapi malah tetap dibawa ke pengadilan," ujarnya.
"Makanya kemudian lahir itu peraturan Mahkamah Agung itu, boleh hal itu tidak disidangkan tapi ancaman hukumannya dibawah 7 tahun," sambungnya.