TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Studi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan tiga nama yang digadang-gadang bakal maju dalam Pilpres 2024 yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, maupun Anies Baswedan tak bermasalah dengan polarisasi.
Pendiri SMRC, Saiful Mujani, mencoba mengaitkan hasil studi SMRC terkait kecenderungan ideologi ekonomi masyarakat Indonesia dengan kekhawatiran munculnya polarisasi dalam Pilpres 2024.
Studi sebelumnya menunjukkan secara umum masyarakat Indonesia cenderung menginginkan peran negara lebih besar untuk kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, studi tersebut juga menunjukkan tidak adanya indikasi munculnya potensi polarisasi yang terjadi antara dua kelompok ideologi ekonomi.
Sementara itu, kata dia, visi ideologi kesejahteraan rakyat dalam Pilpres posisinya juga normal.
Apabila yang bersaing adalah Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo maka, kata dia, ada kecenderungan pada kedua kelompok pendukung kedua tokoh tersebut yang menginginkan orang kiri.
Persaingan Anies dan Ganjar, kata dia, tidak akan membuat masyarakat terpolarisasi dari spektrum ideologi ekonomi kiri dan kanan atau pro-negara dan pasar.
Kemudian, apabila Anies berhadapan dengan Prabowo juga ditemukan pola yang sama.
Sehingga, kata dia, tidak ada kekhawatiran apa-apa setidaknya dari data yang ada sekarang.
Pola yang sama, kata dia, juga ditemukan dalam simulasi Ganjar berhadapan dengan Prabowo.
Hal tersebut disampaikannya dalam program Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Polarisasi di Pilpres 2024? (bagian 2)” di kanal Youtube SMRC TV pada Kamis (23/3/2023).
"Oleh karena itu persaingan dalam Pilpres, siapa pun yang maju di antara tiga nama yang paling kompetitif ini (Ganjar, Prabowo, atau Anies), tidak punya masalah dengan polarisasi," kata dia.
"Tidak mengubah sikap pemilih dalam soal ekonomi, maupun dalam diskusi kita yang sebelumnya Islam VS Pancasila," sambung dia.
Sebelumnya Studi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tentang ideologi pemilih soal kesejahteraan menunjukkan secara umum masyarakat ingin negara lebih banyak berperan untuk kesejahteraan.
Saiful menjelaskan pada masyarakat di negara-negara seperti Amerika Serikat atau Eropa Barat terjadi perdebatan antara dua kelompok ideologi.
Kelompok pertama, adalah mereka yang menginginkan peran negara lebih besar untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang berkembang di masyarakat.
Kelompok kedua, mereka lebih percaya kepada masyarakat sendiri yang dapat menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mereka hadapi.
Di Eropa, kata dia, kelompok pertama disebut sosialis dan kelompok kedua disebut liberal.
Di AS, kata dia, kelompok pertama disebut kiri atau liberal sedangkan kelompok kedua disebut kanan atau konservatif.
Baca juga: Hasil Survei SMRC: Ganjar Dipuncak, Prabowo dan Anies Bersaing Ketat di Urutan Kedua
Menurut Saiful perdebatan tentang ideologi ekonomi tersebut juga mungkin relevan di Indonesia.
Namun yang lebih penting, menurut dia, adalah apakah perbedaan ideologi tersebut akan membuat masyarakat terbelah atau tidak.
"Setelah kita teliti semua, kita menemukan kecenderungannya memang, masyarakat kita inginnya peran negara lebih besar. Rata-ratanya skornya adalah 4,31," kata Saiful.
"Itu artinya secara umum menginginkan negara lebih banyak berperan untuk kesejahteraan masyarakat. Jadi cukup kiri kalau menggunakan istilah di Amerika. Atau cukup sosialis masyarakat kita kalau ini di Eropa. Itu keadaannya," sambung dia.
Namun demikian, kata dia, menurutnya gambaran pada studi tersebut tidak menunjukkan adanya polarisasi.
Kurva yang ditunjukan dalam studi tersebut, kata dia, mencerminkan kurva moderat.
"Di satu sisi, masyarakat ingin agar bisa berusaha sendiri, tapi di sisi lain juga tetap menganggap penting peran negara, karena kenyataannya banyak masyarakat yang membutuhkan peran atau bantuan negara," kata dia.
"Oleh karena itu kalau dilihat dari sisi ini, walaupun cenderung kiri dan menginginkan intervensi negara, tapi posisi ini moderat," sambung dia.