Kedua, Aspirasi masyarakat Provinsi Bali mendapatkan respon awal dari Anggota DPD RI (I Wayan Sudirta) pada awal masa keanggotaannya di DPD RI dengan menginisiasi RUU tersebut di DPD (tahun 2005) dan memperjuangkannya untuk masuk dalam prioritas Prolegnas 2005-2009.
Perjuangan tersebut terus dilakukan I Wayan Sudirta, pada periode kedua di DPD RI untuk tetap konsisten memperjuangakan Otsus Bali melalui DPD RI hingga masuk menjadi prioritas pembahasan RUU dalam Prolegnas 2010-2014 dan dilanjutkan dalam Prolegnas 2015-2019, serta Prolegnas 2020-2024.
"Walaupun sudah masuk dalam prolegnas, namun RUU Otonomi Khusus bagi Provinsi belum pernah dirumuskan dan menjadi prioritas pembahasan oleh DPR RI maupun Pemerintah," ujarnya.
Ketiga, Momen pembahasan Otsus Bali itu muncul tatkala, DPR-Pemerintah menyepakati untuk melakukan peninjauan terhadap UU Pembentukan Provinsi disesuaikan dengan dasar hukum dan perkembangan karateristik Provinsi yang bersangkutan.
Pemerintah, masyarakat, dan anggota DPR dari Provinsi Bali mendorong konsep Otsus Bali ini dalam revisi UU Pementukan tersebut.
Baca juga: Komisi II DPR dan Pemerintah Setujui 8 RUU Provinsi Dibawa ke Rapat Paripurna
Substansi Undang-Undang
Dalam kaitan UU Provinsi Bali beberapa substansi yang penting berkaitan dengan karateristik dan rekognisi negara terhadap Provinsi Bali adalah sebagai berikut:
Pertama, berkaitan dengan karateristik Provinsi Bali sesuai dengan Tri Hita Karana.
Dalam UU ini akan diatur dalam Pasal 5, berbunyi:
a. Tri hita karana merupakan filosofi masyarakat Bali mengenai tiga penyebab kebahagiaan, yaitu sikap hidup yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, antarsesama manusia, dan antara manusia dengan lingkungan berdasarkan pengorbanan suci (yadnya); dan
b. Sad kerthi merupakan nilai kearifan lokal masyarakat Bali sebagai upaya untuk penyucian jiwa (atma kerthi), penyucian laut beserta pantai (segara kerthi), penyucian sumber air (danu kerthi), penyucian tumbuh-tumbuhan (wana kerthi), penyucian manusia (jana kerthi), dan penyucian alam semesta (jagat kerthi).
Kedua, rekognisi berkaitan dengan Desa Pakraman dan Subak, sebagaimana diatur dalam Pasal 6.
Walaupun diatur secara generalis namun pengaturan dalam Pasal 6 ini membawa perspektif baru mengenai Desa Pakraman diluar konteks “Desa” yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Pasal 6 UU ini berbunyi:
Pasal 6