Perkembangan Konsepsi Otsus Bali hingga Menjadi UU Provinsi Bali

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Anggota DPR RI Wayan Sudirta sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Program Doktor Hukum untuk periode tahun 2021-2023, Sabtu (4/12/2021).
Anggota DPR RI Wayan Sudirta sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Program Doktor Hukum untuk periode tahun 2021-2023, Sabtu (4/12/2021).

Dalam Pasal 8 diatur bagaimana sumber-sumber pendanaan dan dibukanya kesempatan adanya dukungan dana dari Pemerintah Pusat berkaitan dengan penguatan pemajuan kebidayaan dan desa adat. Pengaturan ini diharapkan dapat mendorong percepatan pembangunan Provinsi Bali dalam rangka penguatan pemajuan kebudayaan dan desa adat.

Pasal 8 berbunyi:

Pasal 8

(1) Pemerintah Provinsi Bali memperoleh sumber pendanaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pemerintah Pusat dapat memberikan dukungan pendanaan dalam rangka penguatan pemajuan kebudayaan dan desa adat.

(3) Selain sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam rangka pelindungan kebudayaan dan lingkungan alam Bali, Pemerintah Provinsi Bali dapat memperoleh sumber pendanaan yang berasal dari:

a. Pungutan bagi wisatawan asing; dan

b. Kontribusi dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Pemerintah Provinsi Bali melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dalam rangka menyamakan usulan penggunaan dana tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di Provinsi Bali.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoordinasian usulan penggunaan dana tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Tindak Lanjut

a. Secara sosiologis-empirik, upaya untuk memperjuangan kekhususan bagi Provinsi Bali tidak pernah “padam”.

Aspirasi itu sudah mulai muncul sejak tahun 1999 yang diusung oleh berbagai komponen masyarakat Bali.

Selanjutnya, aspirasi masyarakat Bali tersebut telah mendapatkan penerimaan politik dan didukung secara resmi oleh pemerintahan daerah, baik pada level Provinsi maupun pemerintahan kabupaten/kota se-Bali.

Substansi kekhususan yang dikendaki di Bali meliputi Pariwisata (Perencanaan, Perjinan, Promosi dan Pengendalian pariwisata yang terpadu di Pemerintah Provinsi), Adat dan Budaya (Pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya dan penghormatan atas hari-hari libur sesuai dengan adat dan budaya), Pertanahan (Pengakuan atas tanah-tanah adat), Tata Ruang (Perencanaan dan Pengendalian Tata ruang yang berada dalam satu kesatuan ekologis, menghormati nilai-nilai budaya dan mempertimbangkan konsep kawasan suci).

Juga soal Kependudukan (Perencaan dan pengendalian kependudukan yang terintegrasi antar wilayah dengan memperhatikan hak-hak warga Bali), Kelembagaan Daerah (Pengakuan dan penghormatan pada institusi representasi adat dan agama dalam sistem pemerintahan daerah), dan Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (Pembagian dana perimbangan yang berasal dari sektor pariwisata dan konsep “shareholders” dalam kepemilikana badan usaha antara pemerintah pusat dan daerah).

b. Walaupun memiliki basis argumentasi yang kuat, namun wacana Otsus dan daerah istimewa di luar empat daerah (Papua, Aceh, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta) memiliki hambatan politik yang tidak ringan.

Ada beberapa hal yang bisa menjadi tantangan politik dari gagasan Otsus ini:

1) Tantangan awal bisa muncul dari pembela gagasan Negara Kesatuan (Unitarianisme). Bagi para penyongkong gagasan ini, Otsus dianggap sebagai bagian dari mewujudukan federalisasi dalam negara kesatuan. Singkatnya, konsep otonomi khusus dipandang sebagai upaya memperkuat provinsialisme atau bahkan federalisme.

2) Tantangan berikutnya bisa berasal dari kalangan yang menganggap Otsus bukan solusi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.

Pandangan ini semakin kuat muncul ketika terjadi problem dalam implementasi Otsus, baik di Aceh maupun Papua.

3) Tantangan juga bisa muncul dari kalangan yang berpendapat bahwa pemberian otonomi khusus pada sebuah daerah akan “menular” dan diikuti oleh tuntutan yang sama dari daerah-daerah lain.

Kalau dicermati lebih jauh penolakan atas Otsus lebih didasarkan pada dua hal: pertama, penggunaaan istilah Otonomi Khusus itu sendiri.

Dan yang kedua, terkait dengan persepsi atas praktik-implementasi Otsus yang diterapkan di Aceh dan Papua. Sehingga, penolakan bukan pada substansi kekhususan yang dimiliki oleh sebuah daerah.

Baca juga: Wayan Sudirta Percaya Mahfud MD Tak Suka Cari Panggung dan Jatuhkan Pihak Lain

Oleh karena it, I Wayan Sudirta mengatakan ke depan dalam kerangka memasukkan kembali substansi materi pengaturan kekhususan bagi Provinsi Bali diantaranya meletakan substansi kekhususan Provinsi Bali tersebut pada perubahan berbagai Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang sektoral dengan memasukkan substansi kekhususan Provinsi Bali dalam muatan undang-undang tersebut.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini