"Udah lunas lah Rp 430 juta, ke notaris, enggak deal dari perpajakan, karena enggak percaya, rumah di situ harusnya Rp 650 juta, menurut pajak," kata Soimah.
"Tapi kan aku tuku Rp 430 juta. Jadi dikira saya menurunkan harga, padahal deal-dealan ada, nota ada. 'Enggak mungkin, masak Soimah beli rumah Rp 430 juta', emang ada ukurannya Soimah harus beli rumah harga berapa miliar gitu?" imbuhnya.
Karena terus diperlakukan dengan kecurigaan seperti itu, Soimah mengaku heran.
"Saya kan menjelaskan saya pekerja seni, yang mau dicurigai apa?" ujar Soimah.
Bahkan lawakannya di panggung saat dia memerankan karakter orang kaya dan pamer kekayaan, juga menjadi bahan kecurigaan oknum petugas pajak.
"Di Dagelan aku sering jadi juragan, karena image-nya sombong, kaya, namanya dagelan, beli gunung, buat bandara, namanya lawakan. Ketika 2015 orang pajak datang, dikira pom bensin punya Soimah, gunung, bis punya Soimah," tuturnya.
"Silakan dicek, disangka aku nanti pencucian uang. Kok uang tak cuci, mending tak pakai sendiri," imbuhnya.
Menanggapi hal ini, Prastowo mengatakan, pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Bantul dinilai tidak sembarangan menggunakan kewenangannya.
Bahkan, petugas itu hanya mengingatkan dan menawarkan bantuan jika Soimah kesulitan.
"Ternyata itu dianggap memperlakukan seperti maling, bajingan, atau koruptor. Hingga detik ini pun meski Soimah terlambat menyampaikan SPT, KPP tidak mengirimkan teguran resmi, melainkan persuasi," tegasnya.