TRIBUNNEWS.COM - Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah menjatuhkan putusan banding terhadap terdakwa kasus pembunuhan berencana Yosua Hutabarat (Brigadir J), Ferdy Sambo.
Dalam putusannya, Hakim Ketua, Singgih Budi Prakoso, memutuskan menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang memvonis pidana hukuman mati untuk Ferdy Sambo.
"Mengadili, menerima banding Ferdy Sambo dan Penuntut Umum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan."
"Menguatkan putusan Majelis Hakim PN Jakarta Selatan dengan nomor 796/Pid.b/ 2022/PN.Jkt Sel tanggal 13 Februari 2023 sebagaimana yang dipintakan banding," ujar Singgih Budi Prakoso saat membacakan putusan di PT DKI Jakarta, Rabu (12/4/2023), dikutip dari YouTube Kompas TV.
Lebih lanjut, Singgih Budi Prakoso membacakan hal yang memberatkan Ferdy Sambo.
Perbuatan Ferdy Sambo yang berdampak pada masa depan dirinya, bawahan, serta istri dan anak, dinilai menjadi hal memberatkan yang membuat banding eks Kadiv Propam Polri ini ditolak.
Baca juga: Majelis Hakim Tinggi Nyatakan Vonis Ferdy Sambo di PN Jaksel Sudah Tepat dan Benar Secara Hukum
"Akibat dari perbuatan terdakwa banyak anggota Polri yang terlibat. Majelis Hakim Tinggi juga membenarkan hal itu, serta yang semua itu berimbas kepada masa depan karier jabatan yang bersangkutan juga pada keluarganya, yakni istri dan serta anak," kata Singgih Budi.
Singgih juga mengatakan, sikap Ferdy Sambo yang tidak berusaha mengklarifikasi perbuatan Brigadir J secara langsung pada korban, juga dinilai sebagai hal memberatkan.
Apalagi, Ferdy Sambo langsung memerintahkan menembak Brigadir J tanpa memberikan penjelasan terlebih dulu pada korban.
Terlebih, Brigadir J juga tak mengetahui alasan mengapa dirinya dipanggil hingga ditembak oleh Richard Eliezer atas perintah Ferdy Sambo.
Sebagai informasi, Putri Candrawathi bercerita pada Ferdy Sambo dirinya dilecehkan oleh Brigadir J saat berada di rumah Magelang, Jawa Tengah.
Aduan dari Putri Candrawathi tersebut langsung membuat emosi Ferdy Sambo tersulut.
"Hal yang juga menjadi perhatian Majelis Hakim Tinggi adalah sepanjang pemeriksaan persidangan tidak terdapat fakta-fakta adanya usaha dari terdakwa untuk melakukan klarifikasi terhadap korban Brigadir Yoshua Huatabarat tentang apa yang sebenarnya terjadi."
"Yang terjadi hanya langsung dilakukan penembakan terhadap korban," urai Singgih.