News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polisi Terlibat Narkoba

Sidang Pleidoi Teddy Minahasa Ungkap Kejanggalan, Pakar Psikologi Forensik Bilang Begini

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel. Sidang Pleidoi Teddy Minahasa Ungkap Kejanggalan, Pakar Psikologi Forensik Bilang Begini

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang lanjutan kasus narkoba Teddy Minahasa (TM) yang digelar dengan agenda pembacaan pleidoi atau nota pembelaan mengungkap sejumlah kejanggalan. 

Hal tersebut mengemuka dalam pleidoi yang dibacakan oleh Teddy Minahasa di Pengadilan Jakarta Barat pada Kamis (13/4/2023). 

Kejanggalan kasus narkoba yang menjerat mantan Kapolda Sumatera Barat tersebut memiliki indikasi bahwa adanya rekayasa dan konspirasi untuk menjatuhkan Teddy Minahasa. 

Ahli psikologi forensik (Psifor) Reza Indragiri Amriel menduga bahwa Teddy Minahasa telah menjadi target kriminalisasi. 

Reza Indragiri melihat ada tiga hal serius yang jadi perhatian dalam kasus narkoba Teddy Minahasa selama proses persidangan berlangsung. 

Tiga hal tersebut terangkum dalam 3F, fabricated confession, forensic fraud, dan fake crime yang mengarah pada kriminalisasi terhadap Teddy Minahasa. 

"Dari satu sesi ke sesi persidangan, TM dan DP berikutnya, saya menangkap 3F yang merupakan persoalan serius," kata Reza dalam keterangannya, Jumat (14/4/2023).

Terkait fabricated confession, Reza memberikan contoh dengan keterangan saksi Linda Pujiastuti alias Anita Cepu (LA) yang nilainya terlalu dibuat-buat. 

Menurutnya, keterangan LA soal bepergian berdua bersama Teddy ke Laut Cina Selatan dan di sepanjang perjalanan mereka dengan gampangnya berbuat tidak senonoh adalah patut dicurigai sebagai sebuah kebohongan. 

"Ini jelas kebohongan besar, mengingat tim Bravos Radio berhasil menemukan surat tugas resmi dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian kepada TM dan tim untuk melakukan operasi penegakan hukum terkait narkoba," jelas Reza.

Menurutnya, keterangan dari LA tersebut sangat tidak masuk akal mengingat itu adalah operasi yang sangat resmi dengan melibatkan sejumlah personel Polri dengan berbagai pangkat. 

Maka sangat tidak logis jika dalam operasi tersebut TM dan LA berbuat senonoh. 

"Bukan perjalanan liar. Dan gila apabila TM melakukan kemaksiatan bersama LA di tengah sorotan sekian banyak orang," kata Reza. 

Keterangan-keterangan tidak logis dari Linda sangat diragukan kebenarannya dan sulit untuk dipercaya. 

Sebab itulah dirasa sudah tepat langkah dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menolak permohonan LA sebagai justice collaborator (JC).  

"Tinggal lagi pertanyaannya adalah keterangan palsu LA termasuk dalam kategori apa? Pertama, keterangan palsu yang ia berikan secara sukarela (voluntary false confession)? Atau kedua, keterangan palsu yang disampaikan karena adanya tekanan atau pun iming-iming pihak eksternal (coerced false confession)?" urainya. 

"Mari bernalar, sebesar apa nyali LA sehingga sanggup merekayasa rangkaian cerita bohong dengan inisiatifnya sendiri?" tanya Reza. 

Selanjutnya terkait forensic fraud reza mengaitkannya dengan barang bukti forensik yang dicurigai telah dimanipulasi, salah satunya bukti percakapan WhatsApp yang tidak utuh disajikan.   

Baca juga: Teddy Minahasa Sebut Ada Sutradara di Balik Kasusnya, Singgung Kejanggalan dalam Penyidikan

Terkait bukti percakapan, dari 900 percakapan hanya 80 atau 10 persen percakapan yang disodorkan penyidik dan JPU di persidangan. 

Menurut Reza, hal ini membuat data informasi ini menjadi tidak berkualitas sebagai bukti karena tidak utuh.    

"Dari sudut pandang psikologi forensik, data/informasi yang berkualitas harus lengkap (utuh) dan akurat. Dengan bukti chat yang sangat sedikit dan terpenggal-penggal, bagaimana bisa dipastikan bahwa simpulan yang terbangun (bahwa TM mengorkestrasi penyisihan, penggantian, dan penjualan narkoba) akan akurat?" tuturnya lebih lanjut.

Dugaan kriminalisasi terhadap Teddy Minahasa dalam kasus narkoba yang menjeratnya ini menurut analisa Reza juga bisa dilihat dari adanya manipulasi bukti forensik percakapan antara Teddy dan Doddy. 

Bukti chat ini yang kemudian diklaim Doddy sebagai perintah Teddy agar mengganti sabu dengan tawas sebagai bonus bagi anggota kepolisian. 

"Jika chat tersebut hanya berupa teks (kata-kata), maka tanpa tedeng aling-aling saya meyakini bahwa itu mutlak merupakan perintah salah dari orang (TM) yang memiliki niat jahat (criminal intent)," imbuhnya. 

Namun yang mematahkan klaim Doddy tersebut adalah adanya emoji wajah tertawa yang dikirim Teddy Minahasa ke Doddy. 

Namun di persidangan percakapan tersebut tidak utuh disajikan, terkesan dipilih-pilih dan diutak-atik, karena emoji wajah tertawa tersebut dihilangkan. 

"Alhasil, begitu emoji dimunculkan sebagaimana chat TM aslinya, penilaian saya serta-merta berubah. Tentu perubahan ini berdasar, yakni sekitar seratus riset tentang komunikasi kriminal yang memuat emoji," bebernya.

Reza menjelaskan, begitu signifikannya dampak emoji. Mencermati chat itu tidak lagi bisa secara absolut dipahami sebagai perintah. Apa lagi chat Doddy atas chat Teddy itu ternyata juga memuat emoji tertawa. 

"Klop sudah, kedua perwira tersebut berada di gelombang yang sama bahwa chat mereka tidak bersifat vertikal (perintah) dari TM ke DP. Kedua polisi itu tahu satu sama lain ihwal konteks senda gurau dalam chat mereka," ungkapnya.

Akhirnya pada F ketiga adalah fake crime. Reza mengatakan, bertitik tolak dari fabricated dan forensic fraud sebagaimana dijelaskan Reza sebelumnya maka wajar jika ada kecurigaan kuat bahwa Teddy Minahasa dengan segala cara sengaja dijadikan target operasi kriminalisasi.  

"TM terkena sanksi etik, masuk akal. TM dijatuhi hukuman pidana, di mana perbuatan jahatnya?" kata Indragiri.
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini