TRIBUNNEWS.COM - Inilah contoh teks khutbah Idul Fitri 1444 H/2023.
Idul Fitri 1444 H/2023 merupakan perayaan yang dilakukan umat Islam atas kemenangannya menahan diri dari makan dan minum, serta berbagai hal lain yang dapat merusak puasa.
Selain itu, Hari Raya Idul Fitri juga menjadi momen untuk memperbaiki, memaafkan, dan merenungi kesalahan
Saat Idul Fitri, umat Islam disunnahkan untuk melaksanakan sholat Ied pada pagi hari.
Biasanya, setelah sholat Idul Fitri selesai dilaksanakan, ada khutbah singkat yang disampaikan imam.
Berikut ini contoh khutbah Idul Fitri yang Tribunnews.com kutip dari laman Kementerian Agama Sulawesi Tenggara.
Khutbah Idul Fitri
Baca juga: Teks Naskah Khutbah Singkat Idul Fitri 2023/1444 H: Lebaran Tak Perlu Berlebih-lebihan
Khutbah pertama
Jama’ah Id yang dimuliakan Allah,
Sejak matahari terbenam di akhir Ramadhan, hanya kumandan takbir, tahmid, dan tahlil yang menggema dimana-mana demi memuji kebesaran Allah SWT. Tiada yang lebih besar selain Allah Swt. Suatu ungkapan yang lahir dari lubuk hati paling dalam, yang mengakui bahwa hanya karena Allah kita hidup dan ada, untuk Allah kita bekerja dan beramal, dan kepada Allah kita semua akan kembali.
Dengan takbir, tahmid, dan tahlil yang kita kumandangkan menunjukkan keinsafan kita betapa kecilnya kita di hadapan Allah Yang Maha Agung, sekaligus meniadakan segala sifat keangkuhan dan kecongkakan di dalam diri kita. Kita sadar bahwa apapun kebesaran yang kita sandang, kita sangat kecil di hadapan Allah. Betapapun perkasanya kita, kita lemah dihadapan Allah Yang Maha Kuat. Betapapun hebatnya kekuasaan dan pengaruh kita, kita tidak berdaya dalam genggaman Allah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya.
Allahu Akbar-3X Walillahilhamdu
Idul fitri adalah hari raya fitrah, hari raya kemanusiaan, hari raya kesucian. Disebut juga hari kembalinya kita kepada kesucian kita. Karena itu sudah sewajarnya kita merenungi makna hari raya ini agar kita mengetahui hikmah dan makna dibaliknya.
Fitrah adalah sebutan untuk rancangan Tuhan mengenai kita. Bahwa kita diciptakan Allah dengan rancangan sebagai makhluk suci yang sakral. Allah SWT berfirman dalam surah ar-Rum ayat 30:
'Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.'
Ayat ini menjelaskan kesucian asal manusia sebelum ia tercemar oleh noda dosa. Dari ayat di atas, kita memahami bahwa potensi primer manusia adalah fitrah, yaitu suatu kecenderungan alami manusia untuk memihak pada kebenaran. Manusia merasa tenteram apabila mendapatkan kebenaran itu. Sebaliknya, semakin jauh dari kebenaran, maka hati manusia akan dipenuhi dengan perasaan gundah dan gelisah. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa:
'Kebajikan ialah sesuatu yang membuat hati dan jiwa tenang. Sedangkan dosa ialah sesuatu yang terasa tak karuan dalam hati dan menyesakkan dada' (HR Ahmad).
Seperti halnya system imunitas bagi tubuh, fitrah sesungguhnya adalah system pertahanan untuk memelihara ruhani manusia agar selalu berada dalam koridor ilahi. Ketika ia mendeteksi adanya sesuatu yang menyalahi aturan ilahi, iapun bereaksi melawan. Maka perbuatan dosa menyebabkan hati tidak tenang dan menyesakkan dada. Begitulah cara kerja fitrah manusia, yang didesain sejalan dengan petunjuk Tuhan, yang tidak mungkin berubah, dan tidak akan menyalahi system yang ditetapkan untuknya.
Jama’ah Id yang dimuliakan Allah,
Begitu sempurnanya maha karya Allah SWT. dalam menciptakan manusia dengan potensi fitrahnya yang lurus, hingga Allah SWT menggambarkan manusia itu sebagai ahsani taqwim, yaitu makhluk yang diciptakan dalam mode terbaik.
لَقَْد َخلَْقنَااْلْْنَساَنِفيأَْحَسنتَْقويٍم ِِِ
'Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentul yang sebaik-baiknya.'
Tidak hanya fisik (jasmani), tetapi juga nafsani (psikis), dan ruhani. Lalu, Allah SWT. segera memperingatkan bahwa dibalik kesempurnaan penciptaannya itu, manusia sangat berpeluang untuk jatuh, terjerembab di tempat yang nista “asfala safilin”.
ثَُّمَردَدْنَاهُأَْسفََل َسافِِليَن
'Kemudian kami kembalikan dia di tempat yang serendah-rendahnya.'
Penggambaran al Qur’an ini seakan mengingatkan kita kembali pada kisah Adam (nenek moyang ummat manusia). Bagaimana dia dipersilakan hidup di surga bersama istrinya dan menikmati apa yang berada di surga itu dengan bebas semau mereka, tetapi dipesan untuk tidak mendekati pohon tertentu. Namun Adam melanggar ketentuan Tuhan dengan mendekati pohon dan memetik buahnya yang terlarang. Adam pun jatuh diusir dari surga secara tidak terhormat. Ini adalah simbolisasi dari keadaan kita semuanya. Karena kita ini adalah anak cucu Adam. Kita semua punya potensi untuk jatuh tidak terhormat, kalau kita tidak tahu batas, tidak bisa menahan diri. Derajat kemuliaan yang kita sandang hari ini, bila tidak kita jaga dengan hati-hati dan tidak mawas diri dapat membawa petaka di kemudian hari.
Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa “manusia itu selain memiliki potensi primernya yaitu fitrah, juga memiliki potensi sekunder yaitu lemah, atau dalam Bahasa al Qur’an disebut dha’if.
'Manusia diciptakan dalam kodrat yang lemah' (QS., an-Nisa: 28).
Diantara kelemahan manusia yang penting untuk kita ingat antara lain adalah “miotik”, berpandangan pendek. Dalam Al- Quran banyak peringatan mengenai hal ini, dan yang paling keras adalah firman Allah dalam Surah al-Qiyamah ayat 20:
'Sekali-kali Tidak! Bahkan (kamu manusia) lebih menginginkan sesuatu yang bersifat segera.'
Karena berpandangan pendek (‘ajilah), manusia lebih mudah tergoda pada keuntungan yang bersifat segera atau sesaat, dan tidak melihat akibat perbuatannya itu dalam jangka panjang. Dalam kehidupan sehari hari, banyak contoh konkrit betapa manusia itu lebih mudah tergoda pada kesenangan sesaat; ada yang mengurangi timbangan demi keuntungan dagang, ada yang menyalahgunakan jabatan demi menumpuk harta, ada yang merekayasa cerita (hoaks) untuk menyingkirkan saingan, bahkan ada yang menjual diri dan kehormatan demi iming-iming jabatan. Semua trik manipulasi dan tipuan dilakukan untuk keuntungan yang bersifat segera walau buruk akibatnya dalam jangka panjang. Begitulah hakikatnya dosa, sesuatu yang dalam jangka pendek membawa kesenangan, tapi dalam jangka panjang membawa kehancuran. Jadi, kelemahan manusia adalah berpikiran pendek, lalu karena itu ia mudah tergoda. faktor inilah yang seringkali menjerumuskan manusia ke dalam dosa.
Baca juga: Niat Sholat Idul Fitri 2023/1444 H sebagai Imam atau Makmum, Lengkap Tulisan Arab, Latin dan Artinya
Jama’ah Id yang dimuliakan Allah,
Kita lahir dalam fitrah. Berarti kita hidup dalam kesucian. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang suci. Ini bisa dilihat bagaimana islam mengajarkan bahwa jika anak meninggal sebelum akil baligh, maka dia masuk surga, karena masih dalam kesucian. Akan tetapi karena kita itu mudah tergoda, sehingga sedikit demi sedikit, diri kita menumpuk debu-debu dosa, dan membuat hati kita menjadi gelap.
Semakin sering melakukan dosa, semakin gelaplah hati kita. Dan pada titik tertentu, dosa itu dianggap sebagai hal biasa saja. Bahkan dosa dapat dianggapnya sebagai kebajikan. Problem terbesar dalam masyarakat adalah menghadapi orang yang seperti ini, yaitu orang-orang yang perilakunya buruk, akan tetapi justru merasa berbuat baik. Dalam al-Qur’an banyak sekali dilukiskan antara lain dalam surah al-Kahfi :
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya,’ (QS. Al- Kahfi:103-104).
Dalam surah al-A’raf Allah menggambarkan keadaan mereka itu:
Manusia diciptakan dalam kodrat yang lemah (QS, an-Nisa: 28).
'Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mempunyai mata (tetapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).'
Pada stadium ini, manusia telah benar-benar kehilangan kehormatannya hingga derajatnya jatuh serendah-rendahnya (asfala safilin). Bahkan al-Qur’an menggambarkan mereka itu seperti
binatang ternak.
أولِئَك َكالْْنَعاِمَبْل ُهْمأ َضُّلۚأولِئَك ُهُمالغَاِفلوَن
'Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lalai.'
Kalau kita sampai pada stadium ini, maka sungguh ini adalah suatu malapetaka besar. Wal ‘iyazu billah tsumma na’uzubillah.
Itulah yang disebut “Kematian Nurani”, yaitu suatu kondisi dimana mata, telinga, dan hati telah terkunci. Nurani adalah ungkapan dari Bahasa arab, yang berasal dari akar kata yang sama dengan “nur” artinya cahaya, atau “nar” juga “niyraan”, artinya api. Api dan cahaya, meskipun keduanya dapat dibedakan namun hakikat keduanya adalah suatu kontinum, dimana api menimbulkan cahaya. Nurani adalah ungkapan untuk hati yang dipenuhi dengan cahaya kebenaran. Karena itu ada istilah “hati nurani” yaitu hati yang bercahaya yang membimbing manusia untuk tetap berada pada rel kebenaran. Ketika nurani mati, artinya hati tidak lagi dipenuhi cahaya, maka yang terjadi adalah kegelapan atau zulumaatun. Inilah yang membuat kita tidak melihat perbuatan buruk itu sebagai buruk, bahkan menganggapnya baik.
Apa yang membuat nurani mati, tidak lain adalah dosa. Dalam Bahasa arab dosa disebut zulmun, berasal dari akar kata yang sama dengan “zulumaatun” artinya kegelapan. Maka dosa hakikatnya adalah perbuatan yang bertentangan dengan hati nurani, mematikan cahaya hati, lalu menyebabkan kegelapan. Semakin banyak dosa semakin gelaplah hati kita. Penjelasan ini parallel dengan hadits rasulullah saw. :
'Sesungguhnya seorang hamba jika melakukan perbuatan dosa akan menyebabkan noda hitam di hatinya.' [HR. Ibnu Mâjah, dan Tirmidzi]
Itulah mengapa Allah menyediakan bulan ramadhan sebagai wahana untuk mensucikan diri dan membersihkan kembali hati kita. Sepanjang bulan ramadhan, kita berlatih menahan diri dari godaan-godaan. Seperti dilambangkan dengan makan, minum, serta hubungan biologis. Tujuannya bukanlah untuk lapar dan haus itu sendiri melainkan untuk melatih diri agar kita tidak mudah tergoda.
Melatih menahan diri dari godaan-godaan, tidak lain tujuannya adalah untuk menutupi kelemahan manusia itu sendiri yang mudah tergoda. Maka pahala ibadah puasa tergantung kepada seberapa jauh kita bersungguh-sungguh melatih menahan diri. Dengan demikian, di dalam puasa itu sesungguhnya terdapat unsur “self denial”, mengingkari diri sendiri. Mengingkari diri sendiri
tujuannya adalah supaya jangan terlalu mudah menuruti apa saja yang didiktekan oleh keinginan kita. Puasa merupakan sarana latihan agar manusia tidak terjebak ke dalam kelemahannya sendiri, yaitu miotik, berpikiran pendek.
Dan kalau kita berhasil menjalankan ibadah puasa dengan iman dan ihtisab, maka seluruh dosa kita yang lalu akan diampuni oleh Allah swt, seluruh noda hitam di hati kita akan dibersihkan, lalu hati kita akan kembali dipenuhi dengan cahaya (nurani), yang tidak lain adalah fitrah itu sendiri. Dan konsekuensinya pada waktu kita selesai berpuasa, yaitu pada tanggal 1 Syawal, kita ibarat dilahirkan kembali (born again). Itulah yang kita rayakan hari ini, yaitu kembalinya kita kepada fitrah yang suci.
Khutbah kedua
Jama’ah Id yang dimuliakan Allah,
Puasa sudah kita lewati dan tak ada jaminan kita bakal bertemu Ramadhan lagi. Jika standar capaian tertinggi puasa adalah takwa, maka tanda-tanda bahwa kita sukses melewati ramadhan pun tak lepas dari ciri-ciri muttaqîn. Semakin tinggi kualitas takwa kita, semakin tinggi pula kesuksesan kita berpuasa. Demikian juga sebaliknya.
Lantas, apa saja ciri-ciri orang bertakwa? Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan ciri-ciri orang bertakwa. Salah satunya terdapat dalam Surat Ali Imran ayat 134-135:
الَِّذيَنيُْنِفقُوَنِفيالَّسَّراِءَوال َّضَّراِءَوالَْكاِظِميَناْلغَْيَظَوالْعَـــاِفيَن َعِنالنَّــاِسَواللَّهُيُِحُّباْلُمـْحِسِنــيَن.َوالَِّذيَنِإذَا فَعَلُوا فَا ِح َشة أَ ْو َظلَ ُموا أَ ْنفُ َس ُه ْم ذَ َك ُروا اللَّهَ فَا ْستَ ْغفَ ُروا ِلذُنُو ِب ِه ْم َو َم ْن يَ ْغ ِف ُر الذُّنُو َب ِإ َّلا اللَّهُ َولَْم يُ ِص ُّروا َعلَ َٰى َما فَعَلُوا َوهُ ْم يَ ْعلَ ُمو َن
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) pada saat sarrâ’ senang dan pada saat susah, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran: 134-135)
Ayat tersebut memaparkan tiga sifat yang menjadi ciri orang bertakwa.
Pertama, gemar menyedekahkan sebagian hartanya dalam kondisi senang ataupun sulit. Orang bertakwa mesti berjiwa sosial, menaruh empati kepada sesama, serta rela berkorban dalam setiap keadaan.
Dalam konteks Ramadhan dan Idul Fitri, sifat takwa pertama ini sebenarnya sudah mulai didorong oleh Islam melalui zakat, baik zakat fitrah maupun zakat maal. Zakat merupakan simbol bahwa “rapor kelulusan” puasa harus ditandai dengan mengorbankan sebagian kekayaan kita dan menaruh kepedulian kepada mereka yang lemah. Ayat tersebut menggunakan fi’il mudhari’ yunfiqûna yang bermakna aktivitas itu berlangsung konstan/terus-menerus. Dari sini, dapat dipahami bahwa zakat hanyalah awal atau “pancingan” bagi segenap kepedulian sosial tanpa henti pada bulan-bulan berikutnya.
Kedua, orang bertakwa adalah pandai menahan amarah dan memaafkan sesama manusia. Pandai menahan amarah dan mudah memaafkan adalah dua kualitas kemanusiaan yang terkait satu sama lain, bagaikan dua muka dari satu keping mata uang logam. Jadi merupakan dua aspek dari satu hakikat, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Dalam literatur kesufian ada ungkapan “nafsu amarah”. Ungkapan itu merujuk kepada (Q.s, Yusuf ayat 53), yaitu:
“Sesungguhnya nafsu itu pastilah mendorong kepada kejahatan, kecuali nafsu yang dirahmati oleh Tuhanku.”
Jadi “marah” itu disebut “marah”, karena dia merupakan wujud dorongan nafsu ke arah kejahatan. Maka lebih baik ditahan, dan diganti dengan sikap pemaaf kepada sesama manusia. Jika kita jalani petunjuk Ilahi ini, akan terbukti bahwa sikap itu justru lebih sehat daripada sebaliknya.
Ketiga, ciri orang yang bertakwa adalah mereka yang mengiringi perbuatan dosa dengan istighfar. Istighfar adalah sebentuk amalan yang menumbuhkan pengalaman ketuhanan. Pengalaman ketuhanan yang diperoleh melalui istighfar ialah: pertama, menanamkan kerendahan hati, karena kesadaran bahwa tidak seorang pun yang bebas dari beban dosa. Kedua, dengan banyak istighfâr kita dididik dan dituntun untuk tidak mengklaim diri sebagai —“paling suci” atau tepatnya “sok suci”— yang sikap itu sendiri merupakan suatu bentuk kesombongan
Akhirnya, mari kita semua introspeksi diri; sudah berapa kali puasa kita lewati sepanjang hidup kita? Sudahkah ciri-ciri sukses ramadhan tersebut melekat dalam diri kita? Wallahu a’lam bish shawab.
Link PDF: klik disini.
(Tribunnews.com/Pondra Puger)