"Jangan sampai Yang Mulia majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini masih belum mendapatkan keyakinan atas asal usul sabu tersebut. Yang Mulia Majelis Hakim tentunya tidak menginginkan adanya peradilan sesat karena tidak melakukan penggalian untuk mendapatkan kebenaran materiil," tegas dia.
Ia mengamati setidaknya ada dua alat bukti yang dipertentangkan yaitu Berita Acara Pemusnahan berikut dengan saksi-saksi diadu dengan keterangan Dody dengan Samsul Maarif.
"Dalam hal ini majelis hakim harus benar-benar jeli dan teliti menyikapi atas perbedaan itu," imbuhnya.
Pertama, menurut dia, Berita Acara Pemusnahan adalah bukti otentik yang tidak mudah dipatahkan/dibantah dengan keterangan saksi saja tanpa ada dukungan dengan alat bukti lainnya pembuktian penggunaan saksi mahkota dalam persidangan berpotensi mengaburkan.
Kedua, Dody dan Arief sama-sama terdakwa atau saksi mahkota. Dengan kedua saksi yang notabene terdakwa, maka secara naluriah mempunyai kepentingan-kepentingan untuk melakukan pembelaan atas dirinya.
"Majelis hakim bisa merujuk dalam Pasal 185 KUHAP," terang Prof Nur.
Terkait bukti komunikasi berupa chat WhatsApp antar terdakwa Teddy dengan Dody, diakuinya memang bisa dijadikan petunjuk.
"Tapi jika pengambilan petunjuk komunikasi ini tidak dilakukan dengan sistem elektronik, maka hal tersebut tidak dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah, yaitu alat bukti petunjuk, imbuh dia.
Baca juga: Ahmad Sahroni Sebut Teddy Minahasa Mengaburkan Kasus, Praktisi Hukum: Pernyataan Offside
Prof Nur menjelaskan, Pasal 86 UU Narkotika tidak dapat dipandang sebagai ketentuan yang berdiri sendiri, akan tetapi harus dikaitkan dengan Pasal 5 dan Pasal 6 UU ITE.
Meski begitu, ia optimistis majelis hakim akan sangat detail dalam mengkaji fakta-fakta hukum yang tersaji di persidangan.
"Dalam ilmu hukum ada dalil in dubio pro reo. Artinya, jika ada keragu-raguan dalam hal memutus suatu perkara, maka haruslah diputuskan yang menguntungkan terdakwa," tutupnya.