Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Utama (Dirut) PT Amarta Karya (Persero), Catur Prabowo dan Direktur Keuangan (Dirkeu) Amarta Karya, Trisna Sutisna sebagai tersangka.
Keduanya dijerat dalam kasus dugaan korupsi terkait proyek pengadaan subkontraktor fiktif di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut.
Baca juga: Hasbi Hasan, Sekretaris Mahkamah Agung Kedua Setelah Nurhadi yang Dijerat KPK
"Ditemukan adanya kecukupan alat bukti untuk dinaikkan pada tahap penyidikan dengan menetapkan dan mengumumkan 2 pihak sebagai tersangka," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak saat jumpa pers di Gedung Juang KPK, Jakarta Selatan, Kamis (11/5/2023).
Untuk kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik menahan Trisna Sutisna untuk 20 hari pertama, dimulai 11 Mei 2023 hingga 30 Mei 2023 di cabang Rutan KPK pada Markas Komando Puspomal, Jakarta Utara.
Sementara, KPK belum menahan Catur Prabowo lantaran yang bersangkutan mengaku sedang sakit ketika dipanggil pada hari ini. KPK mengultimatum Catur agar kooperatif di pemanggilan berikutnya.
"KPK mengingatkan tersangka CP (Catur Prabowo, Red) agar hadir di penjadwalan pemanggilan berikutnya dari tim penyidik," kata Johanis.
Konstruksi Perkara Rugikan Negara Rp46 Miliar
Johanis menerangkan, berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN di bulan Oktober 2020, Catur Prabowo diangkat sebagai Direktur Utama PT Amarta Karya dan Trisna Sutisna juga diangkat sebagai Direktur Keuangan PT Amarta Karya.
Baca juga: KPK Periksa Eks Dirut Amarta Karya Catur Prabowo
Berlanjut, sekira tahun 2017, Catur memerintahkan Trisna dan pejabat di bagian akuntansi PT Amarta Karya mempersiapkan sejumlah uang yang diperuntukkan bagi kebutuhan pribadi Catur.
"Untuk merealisasikan perintah tersebut, nantinya sumber uang diambil dari pembayaran berbagai proyek yang dikerjakan PT AK Persero," ungkap Johanis.
Singkat cerita, Trisna bersama dengan beberapa staf di PT Amarta Karya kemudian mendirikan dan mencari badan usaha berbentuk CV yang digunakan menerima pembayaran subkontraktor dari perusahaan pelat merah tersebut tanpa melakukan pekerjaan subkontraktor yang sebenarnya (fiktif).
Baca juga: Kasus Korupsi Proyek di BUMN Amarta Karya, KPK Periksa Seorang Konsultan
Kemudian di tahun 2018, dibentuklah beberapa badan usaha CV fiktif sebagai vendor yang akan menerima berbagai transaksi pembayaran dari kegiatan proyek PT Amarta Karya dan hal ini sepenuhnya atas sepengetahuan Catur dan Trisna.
Untuk pengajuan anggaran pembayaran vendor, Catur selalu memberikan disposisi “lanjutkan” dibarengi dengan persetujuan Surat Perintah Membayar (SPM) yang ditandatangani Trisna.