Klausul inilah yang menurut Fahmi bertentangan dengan amanat reformasi yakni dinilai akan kembalinya militer ke kancah politik.
"Ketentuan itu menjadi semacam klausul karet. Sesuatu yang sebenarnya sangat dihindari dan bertolak belakang dengan semangat UU Nomor 34 Tahun 2004. Saya yakin akan muncul polemik."
"Klausul itu membuka peluang masuknya prajurit aktif ke kementerian/lembaga yang urusannya tidak berkaitan atau beririsan langsung dengan tugas dan fungsi TNI. Maka hal itu sama saja dengan membuka jalan bagi kembalinya militer ke kancah politik, dan jelas bertentangan dengan amanat reformasi," jelasnya dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Kamis (11/5/2023).
Di sisi lain, Khairul tak memungkiri bahwa pelibatan TNI dalam urusan sipil tidak sepenuhnya dapat ditiadakan.
Namun yang disayangkan olehnya adalah justru pelibatan TNI tersebut diperkuat dalam satu dekade terakhir alih-alih dibatasi.
"Hal itu ditandai dengan cukup banyaknya program-program pemerintah maupun kegiatan-kegiatan sektoral yang melibatkan TNI," katanya.
Khairul pun mengungkapkan meski pemerintah maupun TNI terus meyakinkan publik bahwa penempatan prajurit aktif berdasarkan kebutuhan dan tak akan mengembalikan dwifungsi, tetapi menurutnya tidak ada yang dapat menggaransi hal tersebut tidak terjadi di masa depan.
Baca juga: Panglima TNI Perintahkan Denjaka Amankan Celah Ancaman Laut Pada KTT ke-42 ASEAN
Hal tersebut lantaran pimpinan TNI silih berganti dari satu orang ke orang lainnya.
Sehingga komitmen untuk tidak ada lagi dwifungsi dalam jabatan politik di Indonesia tak dapat terlaksana lantaran keterbatasan masa jabatan.
"Taruhlah pemerintah maupun pimpinan TNI saat ini berkomitmen memastikan pelaksanaannya akan dilakukan dengan hati-hati, tetap harus diingat bahwa rezim dan pucuk pimpinan TNI bisa datang silih berganti."
"Rezim dan pimpinan terbaik sekalipun, akan tetap terikat dan terbatasi oleh waktu," jelas Khairul.
Selain itu, Khairul juga menganggap kelenturan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga pemerintah bisa memunculkan persepsi negatif terkait kegagalan sipil dalam mengelola pemerintahan.
"Kelenturan dalam penempatan prajurit sebagai pejabat di kementerian/lembaga pemerintah bisa saja membentuk persepesi negatif ketidakmampuan bahkan kegagalan sipil dan seolah hanya militerlah yang dapat diandalkan perannya dalam mengelola pemerintahan dan negara ini," katanya.
Alhasil, Khairul menyimpulkan usul TNI agar prajurit aktif dapat menempati pos kementerian/lembagai lebih banyak tidak sepenuhnya tepat.
Baca juga: KSAD Wanti-wanti Prajurit dan Keluarga Waspadai Upaya Benturkan TNI dengan Polri