Laporan Wartawan Tribunnews, Erik Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Lambannya proses perizinan AMDAL dan lingkungan dikeluhkan oleh sejumlah pelaku usaha dari berbagai sektor.
Masalah ini muncul pasca diterbitkannya aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, setidaknya ada sekitar 4.000 AMDAL yang masih tertahan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Tak sedikit perusahaan yang sudah menunggu tiga sampai empat bulan izin lingkungan tersebut namun belum juga selesai.
Menanggapi masalah tersebut, Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih menyebutkan bahwa KLHK, melalui pengurus perizinan, semestinya dapat menelaah dan mengatasi penyebab dari lambannya proses perizinan tersebut.
Ia juga mendorong agar KLHK dapat memberikan pelayanan yang lebih mudah diakses masyarakat luas.
“Yang perlu ditelaah kemudian adalah apa yang menjadi keluhan masyarakat ini, terutama dari pengurus perizinan, perlu direspon secara cepat oleh Kementerian LHK dan kemudian membentuk layanan yang lebih mudah diakses oleh masyarakat melalui pelayanan online, misalnya,” kata Najih kepada media di Jakarta, Senin (15/5/2023).
Selain itu, Najih mengatakan petugas yang diberi kewenangan untuk mengurus perizinan AMDAL dan lingkungan harus ditinjau berdasarkan kompetensi dalam mengurus masalah pelayanan perizinan ini.
Adapun saat ini KLHK telah membentuk Tim Percepatan untuk Penyelesaian Pengajuan Dokumen Lingkungan.
Menurut Najih, Tim Percepatan tersebut harus dapat memberikan pelayanan yang transparan, akuntabel, dan cepat.
“Saya kira kalau KLHK membentuk tim khusus, harus kesana orientasinya bahwa pelayanannya harus bisa lebih transparan, akuntabel, cepat, dan diisi oleh tim yang betul-betul punya kompetensi di situ. Sehingga mengurangi atau bahkan menghilangkan keluhan-keluhan adanya hambatan tersebut,” ujarnya.
Lebih lanjut, transparansi yang dimaksud Najih itu yakni dapat menjelaskan prosedur perizinan secara terbuka dan lamanya waktu yang dibutuhkan kepada masyarakat. Sebab, ia menduga lambannya proses perizinan AMDAL dan lingkungan ini karena masyarakat yang belum memahami prosedur perizinannya.
“Ini karena mungkin dalam pelayanan itu masyarakat belum memahami bagaimana proses dan prosedur yang ditetapkan, syarat-syarat pengurusannya seperti apa, kemudian di bagian apa ini contact person yang dikontak untuk melihat perkembangan proses perizinannya sudah sampai mana, dan sebagainya,” ungkap Najih.
“Memang perlu transparansi seperti itu kalau ingin ada percepatan, sehingga kalau ada proses pengurusan yang berbelit-belit, itu ada indikasi adanya mal administrasi penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, dan berpotensi terjadi misalnya suap-menyuap, dan sebagainya,” sambungnya.
Meski demikian, Najih mengaku pihaknya belum dapat memberikan rekomendasi kepada KLHK terkait masalah lambannya proses izin AMDAL dan izin lingkungan tersebut.
Baca juga: Komisi II DPR Minta Pemerintah Kaji AMDAL Sebelum Lakukan Penambangan Batu Andesit di Desa Wadas
Sebab, ia mengatakan pihaknya akan melakukan pemeriksaan ketika terdapat keluhan atau kendala yang dilaporkan kepada Ombudsman.
“Kita belum melakukan peninjauan dan belum melihat kelemahannya, sehingga belum bisa memberikan tindakan korektif ataupun rekomendasi kalau belum melakukan pemeriksaan,” ungkapnya.
Namun, Najih tetap berharap agar keluhan masyarakat terkait masalah ini dapat terselesaikan tanpa harus dilakukan pemeriksaan oleh Ombudsman.
“Jadi tentu harapan kita, keluhan masyarakat seperti ini tidak harus menunggu pemeriksaan. Itu artinya pihak KLHK perlu melakukan perbaikan-perbaikan agar keluhan ini semakin dapat diminimalisirkan. Tapi tentu kita akan melakukan koordinasi agar keluhan ini bisa direspon lebih baik oleh pihak KLHK,” tutup Najih.
Sebelumnya, keluhan terkait lambannya proses AMDAL disampaikan sejumlah pelaku usaha. Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengungkapkan, ketentuan yang baru ini berpotensi menghambat pelaksanaan bisnis, khususnya untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
"Implikasi dari peraturan ini luas dan bisa menghambat pengembangan PLTS," kata Fabby, Senin (15/8/2023), dikutip dari Kontan.
Fabby menjelaskan, ketentuan dalam PP Nomor 22 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 4 Tahun 2021 mengatur adanya ketentuan perizinan baru pada lokasi yang sudah memiliki izin lingkungan.
Hal ini membuat rencana pembangunan PLTS di lokasi yang sudah memiliki izin lingkungan harus melalui revisi kembali. Kondisi sama berlaku untuk izin Amdal.
"Ketentuan ini dapat memperpanjang proses dan berbiaya mahal," tuturnya.
Baca juga: PLN Bakal Bangun PLTS Apung Berkapasitas 42 Megawatt Peak di Batam
Fabby mengatakan, sejumlah perusahaan yang berniat membangun PLTS akhirnya harus mengkaji ulang rencana tersebut serta melakukan perubahan untuk izin lingkungan dan dokumen Amdal yang sudah pernah disetujui.