Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materi terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Gugatan dengan perkara nomor 28/PUU-XXI/2023 ini menyoroti Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor dan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ pada UU KPK.
Sidang yang beragendakan mendengar keterangan DPR RI ini digelar pada Rabu (17/5/2023), dan dipimpin langsung Ketua MK Anawar Usman yang didampingi 8 hakim konstitusi lainnya.
Baca juga: Digugat Agar Tak Tangani Korupsi Lagi, Jaksa Ajukan Diri Jadi Pihak Terkait di Sidang MK
Perwakilan DPR RI Habiburokhman mengatakan pemohon dalam perkara ini tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing.
“DPR RI berpandangan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing),” kata Habiburokhman yang hadir secara virtual.
Anggota Komisi III DPR RI ini menyebutkan bahwa pemohon tidak memenuhi Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Besok, MK Dengarkan Pendapat Presiden dan DPR Soal Kewenangan Jaksa Menangani Kasus Korupsi
Pemohon, kata dia, juga tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu.
“Namun demikian, terhadap kedudukan hukum Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam pengajuan pengujian Pasal-Pasal a quo UU Tipikor, UU KPK, dan UU Kejaksaan terhadap UUD NRI Tahun 1945,” tuturnya.
Pemohon sebelumnya telah mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
DPR beranggapan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang mengatur hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum justru teraktualisasikan dalam Pasal a quo yang mengatur mengenai kewenangan jaksa sebagai penyidik dalam hal proses penyidikan atas kasus-kasus pidana khususnya tindak pidana korupsi.
Menurut dia, pemohon bukan pihak yang terkait langsung dengan UU a quo karena Pemohon bukanlah Penyidik Jaksa, Penyidik Kepolisian, ataupun Penyidik KPK.
Baca juga: Nurul Ghufron Uji Materi UU Nomor 19 Tahun 2019 ke MK, Minta Masa Jabatan Pimpinan KPK Jadi 5 Tahun
“Oleh karena itu secara yuridis, tidaklah berdasar jika Pemohon berkedudukan sebagai Pihak dalam perkara permohonan a quo, yang jelas-jelas tidaklah memenuhi kualifikasi sebagai Pihak dalam perkara permohonan pengujian UU a quo,” tuturnya.
Bahwa dengan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon maka tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar, dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya Pasal-Pasal a quo.