Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Dian Kus Pratiwi menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merubah masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semula empat tahun menjadi lima tahun tidak dapat berlaku untuk pimpinan KPK periode saat ini.
Pasalnya hal tersebut sangat lekat dengan pemberlakuan asas non-retroaktif yang mana hukum tidak dapat berlaku surut sehingga pemberlakukan Putusan MK dapat dilaksanakan pada periode selanjutnya saat masa periode ini berakhir.
"Putusan tersebut sebaiknya berlaku pada pimpinan KPK periode mendatang agar MK tidak terkesan Politis dalam memutuskan perkara," katanya, Sabtu, (27/5/2023).
"Pemberlakuan perpanjangan masa jabatan KPK ke depan juga guna menjaga MK dari pandangan masyarakat terhadap dugaan adanya kepentingan politis dengan pimpinan KPK saat ini," katanya.
Ia mengatakan pengubahan masa jabatan yang semula empat tahun menjadi lima tahun pada subtansinya menekankan mengenai penetapan KPK menjadi lembaga eksekutif.
Baca juga: Proses Sidang Singkat, Abraham Samad: MK Istimewakan Gugatan Nurul Ghufron
Akan tetapi, menurutnya hal ini tidak subtansial karena tidak ada sangkut pautnya antara penetapan KPK menjadi lembaga eksekutif dengan masa jabatan pimpinan KPK.
Selain itu, menurutnya masa jabatan empat tahun pimpinan KPK bukan hal yang inskonstitusional, sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi pada Pasal 7. Pasal tersebut menyebut “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
"Sehingga dalam dalam konstitusi yang memiliki masa jabatan lima tahun sejatinya adalah presiden bukan pimpinan KPK," tuturnya.
Ia menilai MK kurang memperhatikan implikasi Putusan 112/PUU-XX/2022 secara komprehensif padahal putusan tersebut memiliki sejumlah dampak diantaranya berpengaruh terhadap independesi KPK sebagai lembaga negara independen yang mempunyai fungsi untuk pemberantasan korupsi. Selain itu berpengaruh terhadap lembaga negara independen lainnya yang mempunyai masa jabatan pimpinan yang sama.
"Kemudian Implikasi terhadap positive legislature, pada hal ini MK dinilai terlalu jauh masuk ke ranah legal policy yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang dalam menentukan masa jabatan pimpinan lembaga negara independen," katanya.
Peneliti PSHK FH UII Aprillia Wahyuningsih mengatakan pada saat ini pemberantasan korupsi sedang bermasalah yang ditandai dengan indeks korupsi di Indonesia yang jeblok.
Pemberantasan korupsi yang carut marut ditambah pimpinan KPK yang saat ini mempunyai beberapa permasalahan mengenai dugaan pelanggaran kode etik, seharusnya menjadi pertimbangan agar tidak ada perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK.
"Apabila dilihat dari trackrecord pimpinan KPK saat ini, maka tidak seharusnya terdapat perpanjangan masa jabatan yang berlaku di periode ini," katanya.
Oleh karena itu kata dia PSHK FH UII merekomendasikan kepada pembentuk undang-undang untuk segera melakukan perubahan Undang-Undang tentang KPK mengenai masa jabatan pimpinan KPK yang semula empat tahun menjadi lima tahun yang dapat diberlakukan pada periode selanjutnya.
"PSHK FH UII juga meminta kepada KPK, untuk tetap fokus terhadap tugas dan wewenang yang diberikan dalam Undang-undang yakni melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dan menghindari berbagai penyalahgunaan wewenang," pungkasnya.