TRIBUNNEWS.COM - Warga masyarakat dan kelompok sipil di Jimbaran, Bali memprotes keberadaan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Samtaku Jimbaran. Warga meminta agar TPST milik salah satu perusahaan AMDK tersebut segera dihentikan dan ditutup.
Masyarakat menilai proyek tersebut meracuni karena bau busuknya sudah sangat mengganggu kenyamanan warga di sekitar lokasi.
Tuntutan komunitas warga Anggara Swara, Jimbaran, Bali ini turut didukung oleh empat organisasi lingkungan, yakni: Nexus3 Foundation for Environmental, Health, and Development atau Nexus3 Foundation (sebelumnya dikenal dengan BaliFokus Foundation), International Pollutant Elimination Network (IPEN), Allianzi Zero Waste Indonesia (AZWI) dan #breakfreefromplastic (BFFP).
Menurut Yuyun Ismawati, aktivis Nexus3 Foundation sekaligus penerima Anugerah Lingkungan Goldman 2009, perusahaan AMDK tersebut harus menutup fasilitas pengelolaan sampah di lingkungan Anggara Swara itu dan mengumumkannya secara publik seperti saat peluncuran proyeknya.
Selain itu, Yuyun menilai bahwa perusahaan AMDK juga harus bertanggungjawab untuk ikut membersihkan lingkungan di seputaran fasilitas pengelolaan sampah plastik tersebut.
Hirup udara beracun
Selama ini, lebih dari 500 warga Angga Swara, telah menghirup udara beracun dan bau busuk dari fasilitas pengolahan plastik dan sampah tersebut. Mereka telah mengidentifikasi dan mendokumentasikan kejanggalan yang dilakukan dalam membangun fasilitas tersebut, termasuk terindikasi memalsukan tanda tangan masyarakat untuk mendapatkan izin operasionalnya.
Namun selama 20 bulan terakhir, masyarakat berulang kali mengeluhkan TPST Samtaku Jimbaran di lingkungan Angga Swara karena bau busuk yang berasal dari pabrik tersebut.
Sejak September 2021, fasilitas TPST Samtaku Jimbaran telah mengelola ratusan ton sampah organik dan plastik.
Di sini, sampah residu dan plastik bernilai rendah diubah menjadi produk yang dapat digunakan sebagai bahan bakar yang disebut RDF (Refuse-Derived Fuels), sebuah proses yang menghasilkan polusi yang lebih beracun selama pembakarannya.
Pembuatan briket RDF melibatkan peleburan plastik bernilai rendah dalam mesin bersuhu tinggi yang menghasilkan asap hitam. Bau asapnya menyengat dan dapat tercium selama berminggu-minggu.
Sejauh ini, ratusan rumah tangga telah merasakan dampak negatif dari udara beracun ini. Bahkan, beberapa penduduk mulai mengidap berbagai penyakit dan telah berulang kali dirawat di rumah sakit.
Menanggapi hal ini, Amalia S Bendang, Ketua Harian Net Zero Waste Management Consortium, mengatakan bahwa semestinya perusahaan dapat lebih melihat dampaknya lebih jauh ke depan.
“Ada banyak cara untuk mengelola plastik yang bisa jadi pertimbangan dan solusi yang dipilih harusnya bukan justru memindahkan masalah,” kata Amalia.