News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemilu 2024

Jelang Sidang Putusan, Pengamat Yakin MK Bakal Tolak Permohonan Soal Sistem Pemilu, Ini Alasannya

Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Titi Anggraini - Jelang Sidang Putusan, Pengamat Yakin MK Bakal Tolak Permohonan Soal Sistem Pemilu, Ini Alasannya

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat pemilu sekaligus Anggota Dewan Pembinaan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, yakin Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menolak permohonan soal sistem proporsional pemilu.

"Menurut saya, MK akan menolak permohonan nomor 114 ini dan menempatkan pilihan sistem pemilu sebagai legal policy atau kebijakan hukum yang menjadi kewenangan pembentuk UU," kata Titi dalam saluran YouTube pribadinya, Rabu (14/6/2023).

Alasan kenapa MK bakal memutus sistem pemilu sebagai legal policy atau kebijakan publik adalah karena dalam Pasal 168 ayat 2 Undang-Undang (UU) Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang diajukan ke MK, seperti kata Titi, tidak memuat isu soal konstitusionalitas.

MK, lanjut Titi, menguji UU terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Sehingga dalam tahapannya, tentu harus ada norma UUD yang dilanggar oleh UU.

Namun sepanjang penelusuran Titi, tidak ada norma UUD yang dilanggar oleh Pasal 168 Ayat 2 itu.

Hal ini dikarenakan, dalam UUD sendiri tidak diatur sistem pemilu untuk pemilu DPR dan DPRD sebagaimana yang diuji oleh pemohon ke MK.

"Ternyata kalau saya telusuri tidak ada norma UUD yang disimpangi atau dilanggar oleh pasal 168 ayat 2. Karena memang UUD kita tidak mengatur pilihan sistem pemilu untuk DPR dan DPRD," jelasnya.

"Dengan demikian tidak ada isu konstitusionalitasnya terkait norma yang mengatur sistem pemilu, karena UUD sendiri tidak mengatur pilihan sistem pemilu secara spesifik," Titi menambahkan.

Lebih lanjut, Titi menjelaskan, dalam konstitusi memang tidak diatur sistem pemilu untuk DPR dan DPRD. Sistem tersebut hanya diatur untuk pemilihan presiden dan wakil presiden.

"Presiden dan wakil presiden itu diatur di pasal 6 a Ayat 3, Ayat 4, yaitu sistem pemilunya majority run of two round system. Sistem pemilu dua putaran. Kalau tidak dapat 50 persen plus 1, maka ada putaran kedua. Jadi kalau mau dapat kursi harus 50 persen plus 1.  Itu sistem pemilu presiden wakil presiden. Jelas konstitusi mengatur," Titi menegaskan.

"Tapi kalau untuk pemilu DPR dan DPRD itu tidak ada di dalam bab 7 b Pasal 22 e yang mengatur tentang pemilu. Hanya disebutkan di Pasal 22 e ayat 3 UUD Negara RI tahun 1945 bahwa peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD adalah parpol," sambungnya.

Ini artinya, lanjut Titi, jika mengacu sistem varian pemilu: sistem pemilu yang pesertanya adalah partai politik bukan hanya proporsional saja, tapi bisa juga sistem pluralitas mayoritas dengan varian party block vote.

"Party block vote ini peserta pemilunya parpol. Dalam sistem pemilu campuran juga bisa peserta pemilunya parpol. Jadi variasi itu bisa banyak," tandasnya.

Sebagai informasi, putusan soal sistem proporsional pemilu bakal berlangsung pada Kamis (15/6/2023) mendatang.

Berdasarkan situs resmi MK, sidang dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 ini bakal berlangsung pukul 9.30 WIB.

Hal ini juga telah dikonfirmasi oleh Juru Bicara (jubir) MK, Fajar Laksono.

"Betul (sidang berlangsung tanggal 15 Juni)," kata Fajar saat dikonfirmasi, Senin (12/6/2023).

Sebelumnya, MK telah menerima permohonan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022. Uji materi ini tinggal menunggu putusan.

Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).

Baca juga: Pengamat Minta MK Bijaksana Memutuskan Sistem Proporsional Pemilu 2024

Untuk diketahui, sistem pemilu tertutup diberlakukan sejak masa pemerintahan Presiden Ir. Soekarno pada 1955, serta masa pemerintahan Presiden Soeharto yakni 1971 sampai 1992.

Pada Pemilu 1999 juga masih menggunakan sistem proporsional tertutup. Pun Pemilu 2004.

Penerapan sistem proporsional tertutup pun menuai kritik dan dilakukan uji materi ke ke MK pada 2008. Kemudian sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 20219, sistem pemilu beralih menjadi proporsional terbuka.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini