Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan disahkan menjadi undang-undang (UU) Kesehatan pada sidang paripurna DPR RI pada masa persidangan V Tahun sidang 2022-2023, Selasa (11/7/2023).
Terkait hal ini, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia ( PB IDI) Muhammad Adib Khumaidi beri tanggapan.
Menurutnya, pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan merupakan sejarah kelam bagi dunia medis.
"Sejarah catatan kelam di dunia medis di dunia kesehatan Indonesia serta organisasi profesi," ungkap dr Adib pada keterangan resmi yang diterima Tribunnews, Rabu (12/7/2023).
Adib menyampaikan jika penyusunan regulasi UU kesehatan belum mencerminkan kepentingan partisipasi.
Selain itu UU kesehatan ini disebut belum memerhatikan aspirasi dari semua kelompok.
Termasuk profesi kesehatan dan juga kelompok yang memberikan aspirasinya terkait permasalahan kesehatan Indonesia.
"Transparansi tidak dilakukan, sampai saat ini pun kami belum mendapatkan rilis resmi RUU final yang kemudian disahkan menjadi UU," tegasnya.
Selain itu, menurut Adib UU Kesehatan sejak proses penyusunan sampai pengesahan, sudah merusak nilai-nilai demokrasi dan konstitusi negara ini.
Hal ini dikarenakan kepentingan partisipasi dan aspirasi belum terakomodasi dengan baik.
Dan juga, menurutnya penyelesaian dari RUU Kesehatan yang telah menjadi UU Kesehatan ini terkesan terburu-buru
"Kita melihat ketergesa-gesaan ini juga menjadi sebuah cerminan bahwa regulasi ini dipercepat. Apakah karena kepentingan yang lain, kami dari OP tentu tidak paham hal seperti itu," tutur Adib.
Lebih lanjut, Adib singgung perihal hilangnya mandatory spending.
Adib mengatakan jika hilangnya mandatory spending dalam UU memiliki makna secara kuantitas tidak mendapat kepastian hukum di dalam aspek pembiayaan kesehatan.
"Masyarakat akan dihadapkan dengan upaya membangun kesehatan yang akan dikedepankan dengan proses sumber pendanaan di luar APBN dan APBD," kata Adib lagi.
Kata Adib, bukan tidak mungkin dana didapatkan melalui pinjaman, komersialisasi atau bisnis kesehatan.
"Yang ini sekali lagi akan membawa sebuah konsekuensi tentang ketahanan kesehatan bangsa Indonesia," pungkasnya.