TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI menolak pengesahan Undang-Undang (UU) Kesehatan.
Anggota Fraksi PKS DPR RI Netty Prasetiyani Aher menyampaikan, alasan penolakan tersebut diantaranya dihapusnya aturan alokasi wajib anggaran (mandatory spending).
“Itu merupakan kemunduran bagi upaya menjaga kesehatan rakyat Indonesia,” katanya.
Menurut Netty, mandatory spending merupakan bagian penting dari RUU untuk menjamin adanya alokasi anggaran kesehatan secara adil, merata, dan terjangkau di seluruh lapisan masyarakat itu amanah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Negara tidak boleh melepas tanggungjawab tersebut dengan alasan tidak tersedia dana atau alasan lainnya,” tegas Netty.
Merespons hal itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan, anggaran kesehatan kini berbasis kinerja karena besarnya mandatory spending tidak menentukan kualitas dari outcome atau hasil yang dicapai.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. M. Syahril mengklaim, tidak adanya persentase angka di dalam Undang Undang Kesehatan, bukan berarti anggaran itu tidak ada, namun tersusun dengan rapi.
"(Anggaran tersusun) berdasarkan rencana induk kesehatan dan berbasis kinerja berdasarkan input, output dan outcome yang akan kita capai, karena tujuannya jelas meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia setinggi tingginya," kata Syahril dalam laman resmi Kemenkes dilihat, Jumat (14/7/2023).
Karena itu mulai tahun anggaran 2024, disusun terlebih dahulu rencana induk kesehatannya, bagaimana pembagian peran antara pusat dan daerah, targetnya nanti seperti apa.
"Jadi semua lebih terarah. Harapannya terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik. Jadi semua tepat sasaran, tidak buang buang uang," imbuhnya.
Baca juga: Tak Ada dalam UU Kesehatan, DPR Pastikan BPJS Kesehatan Tetap Wajib
Diketahui, mandatory spending di bidang kesehatan sempat diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 171 ayat (1) dan ayat (2).
Kewajiban penganggaran kesehatan minimal 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta 10 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Namun, dalam Undang-Undang Kesehatan baru tidak ada besaran minimal alokasi anggaran wajib mengatur hal tersebut.