TRIBUNNEWS.COM - Pakar Hukum Pidana Unsoed, Hibnu Nugroho menjelaskan bagaimana proses hukum kasus dugaan suap Kabasarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi.
Diketahui sebelumnya Kabasarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena terlibat dalam kasus suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Basarnas.
Namun status tersangka pada Henri Alfiandi tersebut menuai protes dari Puspom TNI, karena menurut Puspom TNI yang berhak menetapkan Henri Alfiandi sebagai tersangka adalah mereka.
Mengingat Henri Alfiandi masih aktif sebagai personel militer dan TNI memiliki ketentuan sendiri dalam memproses hukum para anggotanya.
Kemudian munculah alternatif peradilan koneksitas antara KPK dan TNI untuk memproses kasus suap Kabasarnas ini.
Lantas bagaimana proses peradilan koneksitas ini?
Baca juga: Kasus Dugaan Suap Kabasarnas, Puspom TNI Diminta Transparan, Posisi TNI di Instansi Sipil Dievaluasi
Menurut Hibnu Nugroho dalam Pasal 89 KUHAP telah dijelaskan tentang koordinasi penyidikan.
Dalam kasus ini penyidikan tersebut dilakukan oleh penyidik KPK dan penyidik dari Puspom TNI.
Kemudian nanti untuk penuntut umumnya tergantung pada wilayah kerugiannya.
Apakah termasuk pada kerugian militer atau termasuk pada kerugian umum atau sipil.
"Di dalam Pasal 89 KUHAP, bersama-sama, koordinasi. Jadi sudah betul koordinasi diantara penyidikan, ada penyidik KPK, penyidik Puspom TNI."
Baca juga: 2 Eks Penyidik KPK Semprot Firli Bahuri Main Badminton saat Polemik Status Tersangka Kabasarnas
"Penuntut Umum ini terserah, apakah ini masuk ke wilayah kerugiannya mana. Apakah ini masuk pada kerugian militer apakah kerugian umum," terang Hibnu dalam tayangan Program 'Sapa Indonesia Pagi' Senin (31/7/2023).
Lebih lanjut Hibnu menuturkan, jika kerugian kasus ini masuk pada wilayah kerugian umum, maka yang menjadi hakim ketua adalah hakim umum.
Namun apabila kerugiannya masuk dalam kerugian militer, maka yang menjadi hakim ketua adalah hakim militer.