TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Alumni Ma’had Al Zaytun Muhmmad Ikhsan menilai penetapan tersangka Syekh Panji Gumilang adalah konsekuensi dari perbutaaannya.
Setelah satu dekade lebih lulus, Ikhsan melihat upaya makar Panji Gumilang harus diselidiki oleh aparat penegak hukum.
“Dari tahun 2002 sampai hari ini kalau ada case yang menyebut Panji Gumilang pasti dibelakangnya diikuti NII (Negara Islam Indonesia) sedangkan polisi entah mengapa enggan membicarakan hal itu,” ucap Ikhsan dalam diskusi Babak Baru Al-Zaytun, Sabtu (5/8/2023).
Dia menyayangkan polisi hanya mempersoalkan Panji Gumilang dari kasus dugaan penodaan agama dan Tindak Pindana Pencucian Uang (TPPU).
Padahal, menurut Ikhsan, ajaran-ajaran Syekh Panji Gumilang yang selama ini dilihat publik adalah ditujukan kepada jemaah NII, bukan santri Al-Zaytun.
“Jadi kalau mempermasalahkan soal kurikulum perlu pembinaan keliru banget karena Al Zaytun sudah berdiri dari tahun 1999 dan sampai detik ini tidak ditemukan masalah kurikulumnya kepada kami santri,” tegas Ikhsan.
Ikhsan menyebut upaya pemerintah melakukan pembinaan santri malah menjadi stigma buruk bagi pemilik identitas alumni dan santri Ma’had Al-Zaytun.
Dia berpandangan baik santri dan alumni Al-Zaytun malahan menjadi korban pandangan masyarakat yang tidak tepat tersebut.
“Kami ini nggak terlibat apapun dari case NII dan pengajarannya Syekh Panji Gumilang, karena kami hanya bertemu Syek satu kali dalam satu minggu di momentum setelah dzikir solat Jumat. Itu saja, selebihnya nggak ada,” tuturnya.
Baca juga: Mahfud MD: Penggeledahan Ponpes Al Zaytun Bukan Hanya Penistaan Agama Tapi Juga TPPU Panji Gumilang
Pertemuan dengan Syekh Panji Gumilang dengan santri sangat terbatas.
Ikhsan mengatakan konteks yang disampaikan Panji Gumilang juga bukan mengenai kurikulum.
“Dalam pertemuan itu hanya membicarakan soal perjuangan bangsa nasionalisme, secara prinsip santri Al-Zaytun belajar hal sama dengan pesantren lainnya yaitu kurikulum yang ditetapkan Kementerian Agama, lalu buku-bukunya juga mengadopsi pesantren modern Gontor,” urai Ikhsan.
Dia mengaku santri Al-Zaytun sebaliknya diuntungkan karena biaya untuk mondok terbilang murah.
Dalam enam tahun, santri hanya dikenakan biaya Rp9,5 juta untuk keperluan sekunder.