TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Persidangan lanjutan perkara dugaan korupsi pengadaan tower BTS, Selasa (15/8/2023) menguak fakta adanya diskon denda bagi pihak konsorsium.
Denda ini berkaitan dengan keterlambatan pengerjaan proyek tower BTS 4G dari batas waktu yaang ditentukan dalam kontrak.
Mestinya, denda yang dibayar mencapai Rp 346 miliar lebih. Namun pada akhirnya hanya Rp 80 miliar lebih yang disetor ke kas negara.
"Pada saat perhitungan yang 346 itu sesuai, Yang Mulia," kata Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) BAKTI Kominfo, Elvano Hatohorangan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Kemudian jadi menciut jauh ke bawah menjadi 87 miliar?" tanya Hakim Ketua, Fahzal Hendri.
"Iya, Yang Mulia," jawab Elvano.
Untuk konsorsium Paket 1 membayar denda Rp 24 miliar, Paket 2 Rp 21 miliar. Konsorsium Paket 1 dan 2 itu terdiri dari Fiberhome, Telkom Infra, dan Multitrans Data.
Kemudian konsorsium Paket 3 yang terdiri dari PT Aplikanusa Lintasarta, Huawei, dan PT SEI membayar denda Rp 15 miliar.
Adapun konsorsium Paket 4 membayar denda Rp 10 miliar dan Paket 5 Rp 14 miliar. Konsorsiun Paket 5 terdiri dari PT Infrastruktur Bisnis Sejahtera dan ZTE Indonesia
Korting denda ini diberikan dengan alasan kondisi pandemi Covid-19.
Elvano sebagai PPK mengaku mendapat arahan dari eks Dirut BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latif.
"Pada saat itu Pak Anang memerintahkan kami untuk melakukan perhitungan denda berdasarkan dampak Covid juga, PKKM, dan sebagainya," katanya.
Baca juga: Habiskan Rp 10 Triliun, PMO BAKTI Kominfo Sebut Progres Pekerjaan Tower BTS Hanya Dipantau dari Foto
Cara penghitungannya, pihak BAKTI menggunakan surat edaran PPKM yang diterbitkan pemerintah.
Dari situlah disimpulkan adanya hari-hari yang tidak bisa dilakukan pekerjaan.
Namun Elvano sebagai PPK BAKTI Kominfo mengakui bahwa hal tersebut menyimpangi kontrak yang sudah ditanda tangani.
"Jadi ada hitung-hitungan sendiri itu, diperbolehkan atau tidak menyimpang dri kontrak itu pak?" tanya Hakim Ketua, Fahzal Hendri.
"Menyimpang, Yang Mulia," jawab Elvano.
Mengetahui adanya denda yang menciut hingga ratusan miliar itu, Hakim Ketua tampak murka.
Sebab, negara seharusnya memperoleh ratusan miliar tersebut. Namun karena dendanya dikorting, maka negara merugi.
"347 miliar diciut-ciut kan kayak gitu, hitung-hitung sama ahli perhitungan kerugian keunganan negara, itu masuk kerugian negara itu pak. Seharusnya negara menerima, enggak jadi menerima sebanyak itu," ujar Hakim Fahzal Hendri dengan suara meninggi.
Saat itu pula hakim menyampaikan kekecewaannya terhadap cara kerja PPK BAKTI Kominfo.
Dia pun mengingatkan saksi Elvano bahwa tanggung jawab PPK tidaklah mudah.
Terlebih untuk proyek strategis nasional yang menggelontorkan anggaran hingga Rp 10 triliun lebih.
"Kalau bekerja dengan benar sebgai PPK itu pak. Ini mempertanggung jawabkan uang negara yang triliunan. Ngeri saya," kata Hakim Fahzal Hendri.
Untuk informasi, keterangan Elvano Hatohorangan ini sebagai saksi dalam persidangan atas perkara tiga terdakwa: eks Menkominfo, Johnny G Plate; eks Dirut BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latif; dan Tenaga Ahli HUDEV UI, Yohan Suryanto.
Dalam perkara ini, Johnny, Anang, dan Yohan telah didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengadaan tower BTS bersama tiga terdakwa lainnya, yakni: Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan; Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak Simanjuntak; dan Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali.
Keenam terdakwa telah dijerat Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Teruntuk Anang Latif, Galumbang Menak, dan Irwan Hermawan juga dijerat tindak pidana pencucian uang (TPPU), yakni Pasal 3 subsidair Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.