Perpaduan warna merah dan putih ini kemudian menjadi gambaran jati diri bangsa Indonesia.
Tak hanya membahas tentang warna bendera, panitia tersebut juga membahas tentang ukuran bendera Indonesia.
Kemudian ditetapkan bahwa ukuran bendera Indonesia ini sama dengan ukuran bendera Nippon, perbandingan antara panjang dan lebar adalah tiga banding dua.
Panitia yang membahas tentang bendera Indonesia diketuai oleh Ki Hajar Dewantara, dengan anggotanya terdiri dari Puradireja, Dr. Poerbatjaraka, Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, Mr. Moh. Yamin, dr. Radjiman Wedyodiningrat, Sanusi Pane, KH. Mas Mansyur, PA Soerjadiningrat, dan Prof. Dr. Soepomo.
Setelah itu, Soekarno meminta kepada Shimizu untuk memerintahkan Chaerul Basri mengambil kain dari gudang di Jalan Pintu Air untuk dibawa ke Jalan Pegangsaan Nomor 56 Jakarta.
Kemudian kain itu dijahit menjadi bendera merah putih oleh Ibu Fatmawati, istri dari Presiden Soekarno.
Setelah selesai dijahit, Bendera Merah Putih dikibarkan saat Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Bendera Merah Putih dikibarkan di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56 Jakarta, oleh Latief Hendraningrat dan Suhud.
Kemudian pada 4 Januari 1946, bendera pusaka Indonesia dibawa pindah dan dikibarkan di gedung Agung, Yogyakarta.
Perpindahan tersebut dilakukan karena Presiden dan Wakil Presiden serta para menteri merasa keamanannya tidak terjamin di Jakarta.
Tetapi, pada 19 Desember 1948, saat Belanda menyerang Yogyakarta, bendera pusaka pun sempat diselamatkan oleh Presiden Soekarno.
Lalu Presiden Soekarno meminta ajudan Presiden yang bernama Husein Mutahar untuk menyelamatkan Bendera Merah Putih.
Ia pun melepaskan benang jahitan bendera sehingga bagian merah dan putihnya terpisah, kemudian membawanya dalam dua tas terpisah.
Pada pertengahan Juni 1949, ketika pengasingan di Bangka, Presiden Soekarno meminta kembali kain bendera pusaka dari tangan Husein Mutahar.