TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana mengembalikan MPR RI menjadi lembaga tertinggi negara dipastikan tak mengubah sistem pemilu, termasuk pemilihan presiden (pilpres).
Hal itu disampaikan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo usai menghadiri Peringatan Hari Konstitusi, di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (18/8/2023).
"Ya tertinggi yang dimaksud itu bukan berarti pemilihan presiden dan wakil presiden dikembalikan ke MPR," kata Bamsoet, sapaan akrabnya.
Adapun yang dimaksud lembaga tertinggi negara, kata Bamsoet yakni mengembalikan kewenangan MPR.
Lantas Bamsoet mencontohkan jika terjadi dispute konstitusi.
"Contoh manakala terjadi hal-hal yang luar biasa, apakah bencana alam skala besar, peperangan, pandemi lalu kemudian yang tak kalah penting bisa jadi suatu ketika nanti pilpres hanya calon tunggal misalnya bisa saja," ucapnya
"Bagaimana kalau tidak bisa dilaksnakan pemilu? kan enggak mungkin ada Plt Presiden, Plt Wakil Presiden, Plt Anggota DPR, Plt Anggota DPD," ujarnya.
Namun, Bamsoet memastikan bahwa wacana mengenai pengembalian MPR menjadi lembaga tertinggi negara dibahas usai pemilu 2024.
"Jadi yang dimaksud adalah bukan untuk menghidupkan kembali presiden sebagai mandataris MPR, bukan itu. Tapi lebih kepada kewenangan MPR dalam hal ketetapan-ketetapan," tandasnya.
Sebelumnya, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyatakan, idealnya MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang sudah dilakukan sebanyak 4 kali.
Hal itu disampaikan Bamsoet dalam pidatonya dalam Sidang Tahunan MPR 2023.
Dalam kesempatan ini, Bamsoet juga menyinggung pidato Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri, yang pernah menyebut demikian.
"Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu," ujar Bamsoet di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Baca juga: PAN Setuju Wacana Presiden Dipilih MPR RI, Tapi Beri Catatan
Terkait hal ini, Bamsoet menyinggung soal pelaksanaan pemilu lima tahun sekali yang merupakan perintah langsung Pasal 22E UUD 1945.
Dalam aturan itu secara tegas mengatur bahwa pemilu dilaksanakan mutlak lima tahun sekali.
Namun, ia menilai bisa saja timbul persoalan jika menjelang pemilu terjadi sesuatu yang di luar dugaan.
Termasuk jika terjadi bencana alam berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai konstitusi.
"Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum?" ujar Bamsoet.
"Bagaimana pengaturan konstitusional-nya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?" sambungnya.
Lebih lanjut kata dia, beragam permasalahan tersebut belum ada jalan keluar konstitusionalnya usai amandemen UUD 1945.
Oleh karenanya kata Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu, kondisi tersebut memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh.
Kata Bamsoet, pada masa sebelum Amendemen UUD 1945, MPR masih dapat menetapkan berbagai ketetapan yang bersifat pengaturan.
Salah satunya yakni untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi.
"Apakah setelah perubahan undang-undang dasar MPR masih memiliki kewenangan untuk melahirkan ketetapan-ketetapan yang bersifat pengaturan? Hal ini penting untuk kita pikirkan dan diskusikan bersama, demi menjaga keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara," tukas dia.
Sesuai amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR kata dia, dapat di-atribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum.
Dalam hal ini, MPR RI memiliki fungsi untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar.