TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi walk out delegasi Indonesia mewarnai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Melanesian Spearhead Group (MSG) Leaders Summit ke-22 Tahun 2023 di Vanuatu.
Delegasi Indonesia walk out saat Ketua Sidang KTT MSG ke-22 Eduard Louma, memberikan waktu bicara kepada Benny Wenda.
Pengamat sekaligus dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Cenderawasih, Marinus Mesak Yaung ikut bersuara perihal tersebut.
Marinus menyatakan sikap walk out itu adalah bentuk protes.
Juga tekanan diplomatik terhadap forum KTT MSG dan negara Vanuatu sebagai tuan rumah.
"Keputusan walk out delegasi Indonesia itu menunjukkan posisi tegas kebijakan luar negeri Indonesia soal isu kedaulatan," kata Marinus kepada media in, Kamis (24/8/2023).
Marinus mengingatkan bahwa Indonesia merupakan salah satu aktor great power di kawasan Indo-Pasifik.
Baca juga: Pemerintah Sebut Benny Wenda Orang yang Mengatasnamakan Masyarakat Papua
"Indonesia is not banana republic. Forum MSG jangan dikte Indonesia soal kebijakan atas Papua," tegas Marinus.
Karena itu, Marinus mewanti-wanti Vanuatu, Benny Wenda, dan delegasi ULMWP harus sadar diri dan memiliki kalkulasi politik yang baik.
"Kondisi status politik Papua dan Timor Timur (nama Timor Leste saat masih bersama Indonesia), berbeda di mata hukum internasional."
"27 tahun Timor Timur dengan Indonesia di mata hukum internasional, Timor Timur tetap wilayah tak bertuan. Bukan milik Indonesia," terang Marinus.
Pada saat itu, Marinus menjelaskan, rakyat Timor Timur memiliki hak untuk menggelar referendum penentuan nasib sendiri tahun 1999.
Baca juga: Benny Wenda Minta Lukas Enembe Dilepaskan, Mahfud MD: Terserah Dia Saja
Hal itu tak terlepas atas desakan Australia, Vanuatu, organisasi MSG, dan komunitas internasional.
Marinus menengarai bahwa ada upaya Vanuatu dan MSG ingin mengulang cerita yang sama untuk diterapkan di Papua.
"Vanuatu dan MSG mau mengulang lagi cerita yang sama untuk Papua? Terlalu naif dan keliru. Papua di mata hukum internasional adalah sah wilayah kedaulatan Indonesia," tegas Marinus.
Marinus menduga Vanuatu dan forum KTT MSG mempertanyakan kembali status politik Papua. Upaya ini menurutnya adalah bentuk serangan langsung terhadap Piagam PBB dan hukum internasional.
"Jika diplomasi dead lock atau gagal, pendekatan militer dimungkinkan untuk digunakan. Jika bicara baik-baik tidak mau dengar, maka pukul dan sikat kasih habis. Ini merupakan dinamika hubungan internasional yang sudah lazim terjadi. Vanuatu, Benny Wenda, dan delegasi ULMWP harus paham ketentuan ini," kata Marinus.
Sementara itu, warganet (netizen) menyoroti sikap delegasi Indonesia yang melakukan walk out.
Mereka mendukung sikap tersebut dan "menghajar" Benny Wenda.
"Benny Wenda tidak diakui dalam KTT MSG sebagai pengamat (observer) orang Asli Papua yang ikut dalam sidang. Hanya tuan Oktavianus Mote mantanwakil ketua ULMWP," tulis akun @MNakpapua.
Hal yang senada juga disampaikan aku @interacquiant.
"ULMWP memang tidak pantas duduk di situ. Sikap Indonesia sudah pas," cuit akun tersebut.
Respons senada juga disampaikan akun @BiliWonda. Akun tersebut menyampaikan pesan monohok bagi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
"Indonesia not negotiating with terrorists who killed their own brothers and took New Zealand pilots hostage (Indonesia tidak akan bernegosiasi dengan kelompok teroris yang membunuh saudaranya sendiri dan menyandera pilot Selandia Baru)," tulis akun tersebut.
Akun @serli_rosalinda pun menyatakan hal yang sama. Menurutnya ULMWP tidak bisa melawan kekuatan kebenaran, karena mereka telah berbohong kepada komunitas internasional selama bertahun-tahun.