TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meski berdinas di kesatuan Pasukan Pengamanan Presiden atau Paspampres, Praka Riswandi Manik sehari-harinya tidak bertugas menjaga keselamatan Presiden Jokowi.
Hal ini diungkapkan oleh Komandan Paspampres Mayjen TNI Rafael Granada Baay.
Praka Riswandi adalah anggota Paspampres yang membunuh seorang pemuda Aceh bernama Imam Masykur.
Mayjen Rafael menjelaskan, Praka Riswandi Manik merupakan anggota Paspampres dari Polisi Militer yang sehari-harinya berurusan dengan motor Patroli Pengawalan (Patwal).
"Dia tidak melekat, dia dari Pom (polisi militer) urusan motor patwal," kata Rafael ketika dihubungi Tribunnews.com, Senin (28/8/2023).
Rafael juga menegaskan proses hukum akan dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, apabila anggota Paspampres tersebut terbukti melakukan tindak pidana.
Lalu apa motif tamtama TNI AD ini menganiaya hingga menyebabkan kematian korbannya?
Dalam penyelidikan diketahui, Praka Riswandi tidak bertindak sendirian.
Kini Polisi Militer Kodam Jaya telah mengamankan tiga oknum tentara yang diduga menculik dan menganiaya warga Aceh, Imam Masykur (25) hingga tewas.
Komandan Polisi Militer Kodam Jaya (Danpomdam Jaya) Kolonel CPM Irsyad Hamdie Bey Anwar mengatakan, mereka diamankan di satuannya masing-masing pada Rabu (23/8/2023).
"Kalau kami sistemnya tidak ditangkap, kami datang ke satuannya lalu diambil," ujarnya, dilansir dari Kompas.com, Senin (28/8/2023).
Tiga oknum itu berinisial Praka Riswandi, Praka HS, dan Praka J.
Jika Riswandi merupakan petugas Batalyon Pengawal Protokoler Kenegaraan Paspampres, Praka HS adalah anggota Direktorat Topografi TNI Angkatan Darat dan Praka J merupakan anggota TNI di Kodam Iskandar Muda.
Identitas tiga terduga pelaku diketahui setelah penyidik melacak telepon seluler milik korban yang dijual Praka RM.
Danpomdam Jaya juga menyebut motif para pelaku menganiaya korban hingga tewas adalah untuk mendapatkan uang. "(Motifnya) pemerasan."
Ia berjanji, atas tindak kejahatan tersebut, TNI AD akan memberikan sanksi hukum pidana dan penjara militer.
"Sanksinya hukum pidana dan pidana militer dengan pemecatan," lanjutnya.
Saat ini, Pomdam Jaya masih mendalami adanya keterlibatan pelaku lain.
Diungkapkan, awalnya tiga tentara ini menangkap Imam Masykur (25) dengan modus berpura-pura menjadi aparat kepolisian.
"Pelaku berpura-pura sebagai aparat kepolisian yang melakukan penangkapan terhadap korban karena korban diduga pedagang obat-obat ilegal (seperti) Tramadol dan lain-lain," kata Irsyad.
Dikutip dari Kompas.com, korban merupakan penjual obat-obatan ilegal dengan kedok toko kosmetik yang berlokasi di Jalan Sandratek, RT 02 RW 06, Kelurahan Rempoa, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan.
Imam sebelumnya juga pernah ditangkap karena menjual obat terlarang.
"Setelah ditangkap, dibawa dan diperas sejumlah uang," sambung Irsyad.
Kasus ini sendiri akhirnya viral dan mendapat sorotan pimpinan tertinggi TNI yakni Panglima TNI Laksamana Yudo Margono.
Panglima TNI ingin Praka Riswandi Manik dihukum mati, karena melakukan pelanggaran berat.
Yudo juga memastikan oknum TNI pelaku penganiayaan ini akan dipecat dari keanggotaan TNI.
Imbauan Panglima TNI itu disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan TNI Laksda Julius Widjojono.
"Panglima TNI prihatin dan akan mengawal kasus ini agar pelaku dihukum berat maksimal hukuman mati, minimal hukuman seumur hidup, dan pasti dipecat dari TNI karena termasuk tindak pidana berat, melakukan perencanaan pembunuhan," kata Julius, Senin (28/8/2023).
Pandangan Pakar Psikologi Forensik
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel angkat bicara mengenai hal ini.
Menurutnya, kecepatan kerja TNI dalam menangani kasus ini, diyakini, akan bisa mempertahankan marwah institusi TNI di hadapan publik.
NHanya saja, kata Reza, ada beberapa pekerjaan yang bisa ditindaklanjuti.
"Pertama, terkait investigasi. Lazimnya, sesuai misi ke-2 kejahatan, pelaku harus melakukan segala upaya guna menghindari pertanggungjawaban pidana. Mulai dari--misalnya--menghilangkan barang bukti, merusak CCTV, membangun alibi, dan menghapus jejak-jejak kejahatannnya," kata Reza.
Namun kata Reza, para pelaku justru melakukan aksi yang bertolak belakang dengan sengaja membuat rekaman penganiayaan yang bisa menjadi barang bukti kejahatan.
"Bahwa para pelaku melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan misi kedua itu, menimbulkan pertanyaan. Terkesan mereka sengaja membuat rekaman penganiayaan tidak hanya untuk diperlihatkan ke keluarga korban, tapi juga untuk disodorkan ke pihak lain sebagai bukti bahwa mereka sudah 'bekerja'," papar Reza.
Karenanya Reza mempertanyaka apakah pelaku di bawah pengaruh narkoba atau merasa ada pihak tertentu yang melindunginya.
"Apakah para pelaku berada di bawah pengaruh narkoba? Apakah mereka merasa dilindungi pihak tertentu yang menjamin akan meniadakan pertanggungjawaban pidana?," kata Reza.
Kedua yang bisa ditindaklanjuti, menurut Reza adalah kompensasi.
"Para pelaku yang berstatus sebagai anggota TNI sudah sepatutnya disebut sebagai oknum. Alasannya, perbuatan mereka bukan merupakan arahan lembaga," katanya.
"Setiap kali terjadi perbuatan pidana berat yang dilakukan oleh personel Polri, saya selalu katakan bahwa kejadian dimaksud seharusnya berdampak pula terhadap organisasi Polri," ujar Reza.
Polri, konkretnya, menurut Reza, seharusnya memberikan kompensasi kepada keluarga korban.
"Jadi, di samping pertanggungjawaban individual si pelaku, sebagaimana police misconduct compensation, sangat bagus jika Paspampres atau bahkan TNI juga memberikan kompensasi kepada keluarga korban," katanya.
Ketiga yang ditindaklanjuti, menurut Reza, Resolusi Majelis Umum PBB 47/133.
"Dari kasus ini media mengangkat diksi penculikan. Apalagi karena korban sampai meninggal dunia, penting untuk didalami, apakah penculikan dimaksud tergolong sebagai penculikan konvensional atau sudah termasuk dalam penghilangan orang secara paksa," ujar Reza.
Sebagai catatan, kata Reza, PBB mengklasifikasi penghilangan orang secara paksa sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia.
"Terus terang, ada ingatan traumatis kolektif yang rawan terpicu bangkit kembali," katanya.
Keempat, menurut Reza yang ditindaklunjti adalah non diskriminasi.
"Saya angkat topi terhadap ketegasan Panglima TNI, bahwa ia akan mengawal kasus ini agar pelaku dihukum berat, maksimal hukuman mati, minimal hukuman seumur hidup," kata Reza.
Namun pada kasus pidana lain, kata Reza, pernyataan Panglima TNI cenderung normatif.
Misalnya kata Reza pernyataan Panglima TNI : "Itu pasti akan diproses hukum sesuai ketentuan yang berlaku." Juga: "Sudah saya tandatangani dan langsung ditahan untuk dilaksanakan penyidikan lebih lanjut."