Dan ternyata selama 40 tahun lebih, Bentara Budaya diterima baik kehadirannya di tengah masyarakat.
Hal itu menjadi pertanda positif dan Bentara Budaya pun tak hanya di Yogyakarta, tetapi juga hadir di Jakarta, Solo, dan Bali.
Perjalanan panjang ini memiliki berbagai catatan penting yang terdokumentasikan dalam bentuk foto-foto.
Pada dasarnya, foto mampu bercerita tentang banyak peristiwa termasuk pertemuan antar seniman dengan masyarakat umum.
Pertemuan-pertemuan ini merupakan peristiwa penting karena akan menjadi sejarah penting bagi kehidupan kesenian kita saat ini.
Begitu juga Bentara Budaya, dari tahun ke tahun selalu melahirkan cerita-cerita baru yang memuat berbagai pandangan dan pikiran para seniman dalam menyampaikan ekspresi melalui karya-karyanya.
Pada awal berdirinya Bentara Budaya, terdapat pameran dua perupa tradisi yang mewakili jamannya.
Dua perupa tersebut adalah Sastro Gambar dari Magelang dan Tjitro Waloejo dari Solo.
Mereka melukis karya-karya tradisional, Sastro Gambar memakai kaca sebagai media lukisnya, sementara Tjitro Waloejo melukis di atas kertas dengan tema mitos-mitos pesugihan Jawa.
Dua perupa ini mampu menarik perhatian masyarakat umum, dan memberi banyak pengetahuan bahwa seniman tradisional mampu bertahan dari perubahan zaman.
Pameran-pameran di Bentara Budaya Yogyakarta saat itu sangat riuh dengan para perupa modern dari berbagai usia seperti Affandi, Bagong Kussiodiarja, Sapto Hudoyo, serta seniman-seniman muda yang bermunculan bersamaan dengan hadirnya ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia).
Kemudian, pada tahun 1983 diadakan pameran Ukir Patung Asmat dan Papua, pameran lukisan Sokaraja, diskusi dan pentas tari Ben Suharto, pentas ludruk garingan Cak Markeso, pentas puisi Hamid Jabbar.
Selanjutnya, tahun 1884 terdapat pameran kuningan dari Tumang, Boyolali.
Pada tahun yang sana juga berlangsung pameran keramik Dinoyo Malang dan pameran lukisan dari Taman Sari Yogya.