Berawal dari pameran di Bentara Budaya, tidak sedikit seniman atau kelompok kesenian yang menjadi kondang namanya dan menjadi pusat perekonomian lokal untuk komunitas kesenian.
Hal ini terjadi pada kerajinan rotan di Trangsan, Sukoharjo, kerajinan payung yang berada di Juwiring, Klaten.
Selain itu, juga terdapat kerajinan kain di Troso, Jepara, serta kerajinan lurik di Cawas, Klaten.
Setelah sepuluh tahun berada di kantor lama dekat TB Gramedia, Bentara Budaya Yogyakarta bergabung dengan kompleks Harian Kompas di Jalan Suroto No. 2 Kotabaru.
Pada periode ini selain memberi ruang seni tradisi, Bentara Budaya juga memberi ruang bagi seniman-seniman muda yang potensial.
Di samping itu, Bentara Budaya Yogyakarta juga memiliki kebiasaan baru dengan menampilkan karya-karya lawasan.
Lawasan ini juga yang menjadikan Bentara Budaya mencetak katalog berbentuk buku.
Buku yang sebenarnya adalah katalog ini diminati masyarakat luas.
Beberapa kegiatan Bentara Budaya Yogyakarta juga berupa satire terhadap kehidupan sosial kita yang semakin lama semakin samar.
Arti pertemuan setelah perpindahan kantor Bentara Budaya Yogyakarta ini juga masih mewadahi aktivitas kesenian nyata yang belum bisa diekspresikan langsung oleh para senimannya.
Salah satu contohnya adalah pameran “Berburu Celeng” karya Djoko Pekik pada tahun 1998.
Pameran satu karya yang hanya berlangsung satu hari ini menjadi catatan penting dalam dunia seni rupa.
Bukan pada harga karya yang mahal, tetapi pada simbol yang mampu menunjukkan pada masyarakat luas bahwa seni rupa mampu membahasakan peristiwa dan kondisi yang terjadi di negeri ini.
Kemudian, pada tahun 2003 ketika era reformasi sudah berlangsung lima tahun kehidupan ternyata tidak membaik.