TRIBUNNEWS.COM, Jakarta - Ketua Umum Organisasi Profesi Kehumasan Indonesia (PERHUMAS), Boy Kelana Soebroto, MCIPR, menegaskan perusahaan yang melakukan terobosan inovasi dan memberikan manfaat paling besar bagi customer dan masyarakat, akan mendorong lompatan peningkatan kepercayaan dan reputasi perusahaan atau lembaga, karena mampu mempertahankan relevansi produk dan jasa secara berkelanjutan.
Hal itu diungkapkan Boy Kelana saat acara sosialisasi peluncuran produk riset organisasi profesi kehumasan di Jakarta, Senin (18/9/2023).
Produk yang bernama PERHUMAS Indicators ini merupakan hasil kajian mengenai kepercayaan dan reputasi dari industri serta organisasi, yang menjadikan kebijakan komunikasi sebagai bagian dari top management dalam mendukung kesuksesan perusahaan atau institusi.
"Kajian PERHUMAS Indicators ini merupakan terobosan dari PERHUMAS untuk membuktikan profesi kehumasan mampu membantu secara signifikan manajemen puncak dalam proses pengambilan keputusan yang penting bagi kesuksesan perusahaan atau suatu lembaga," kata Boy Kelana yang juga Head of Corporate Communication Astra International.
Menurut Boy Kelana, sudah saatnya persepsi publik dan juga kalangan eksekutif mengenai humas perlu diubah.
Tidak lagi sebagai staff kehumasan, namun juga sudah menjadi bagian dari top management, yakni sebagai strategic thinker.
Dengan demikian, posisi kehumasan tidak lagi sebagai call center, tetapi sudah menjadi bagian dari operasional perusahaan untuk menghasilkan profit.
PERHUMAS Indicators, kata Boy, adalah bukti untuk menaikkan posisi tawar terhadap korporasi, lembaga, ataupun organisasi dalam hal kemampuan menghasilkan kebijakan komunikasi berbasis riset, terutama untuk mengukur tingkat kepercayaan dan reputasi.
Di mana inti dari seluruh aktivitas komunikasi dalam kegiatan bisnis dan juga birokrasi pemerintahan berujung pada tingkat kepercayaan yang kemudian menghasilkan reputasi.
Sebelumnya, pada Konvensi Humas Indonesia (KHI) yang berlangsung di Semarang pada 1-2 September lalu, PERHUMAS secara resmi meluncurkan produk kajian atau survey mengenai tingkat kepercayaan dan reputasi dalam aktivitas bisnis dan pemerintahan.
Produk riset tersebut bernama PERHUMAS Indicators yang mengukur dimensi kepercayaan dan reputasi kedalam delapan indikator utama dari dua dimensi tersebut.
Adapun delapan indikator kepercayaan dan reputasi itu mencakup:
(1) performance management quality (PMQ)
(2) Environment, Social, and Governance (ESG)
(3) Innovation
(4) Leadership
(5) Technology
(6) People Management
(7) Communication
(8) Crisis Handling.
PERHUMAS Indicators melihat tingkat kepercayaan publik terhadap swasta, pemerintah, dan lembaga masih mendapat kepercayaan cukup baik dengan skor mencapai di atas 65 persen.
Di mana kepercayaan terhadap pemerintah meskipun cukup tinggi (67%), namun memerlukan perbaikan untuk memastikan program pembagunan berjalan dengan baik dan berkelanjutan.
Terlihat jelas bahwa pemerintah berusaha keras membangun kultur professional dalam birokrasi pemerintahan dengan tujuan meningkatan ekspektasi dan dukungan publik termasuk kebijakan komunikasinya.
Sementara itu, sektor swasta (76%) dan BUMN (73%) perlu berkolaborasi secara aktif bersama-sama dan tidak ada yang mendominasi untuk menjalankan pembangunan bersama pemerintah, sehingga upaya percepatan peningkatan kesejahteraan bangsa dapat terwujud segera.
Memang terlihat jelas, salah satu faktor kuat di sektor pemerintahan adalah dinamika kepemimpinannya yang memberi pengaruh signifikan pada kinerja, dan akhirnya berujung pada tingkat kepercayaan masyarakat.
Secara khusus, PERHUMAS Indicators juga menelaah keunggulan dan kelemahan sektor swasta dan BUMN terhadap delapan indikator dari tingkat kepercayaan dan reputasi tersebut.
Swasta dan BUMN secara menonjol terlihat dalam kategori inovasi, di mana keduanya mendapatkan nilai kepercayaan yang tinggi, yaitu swasta dengan perolehan 75,5% dan BUMN diangka 69%.
Persepsi yang muncul swasta dinilai lebih baik dalam mengimplementasikan inovasi, lebih dinamis, dan cepat menangkap peluang untuk mengembangkan produk dan layanannya yang memenuhi kebutuhan pelanggan.
Sementara itu, BUMN khususnya sektor perbankan dan migas, lebih mampu untuk bersaing dengan swasta, namun demikian masih banyak BUMN lainnya belum merata membangun semangat inovasi.
Indikator penting lainnya adalah penanganan krisis, di mana skor keduanya berada di bawah angka 70% yang berarti cukup menyadari pengaruh negatif yang luar biasa dari krisis, namun juga memerlukan kemampuan mitigasi yang lebih mumpuni mengingat ancaman globalisasi seperti kompleksitas dan ketidakpastian begitu besar.
Ancaman krisis memaksa swasta dan BUMN, termasuk pemerintah untuk terus menerus memperbarui sistem mitigasi dan kemampuan memprediksi krisis (early warning system) dan yang lebih penting juga membangun koordinasi lintas sektoral untuk mengurangi dampak krisis atau bencana yang lebih besar.
Secara umum, swasta meraih skor rata-rata 69% dari semua sub indikator krisis, sementara BUMN memperoleh angka rata-rata 65%.
Walaupun demikian, kultur pengelolaan krisis lebih tumbuh di sektor swasta, berbeda dengan BUMN yang sering mendapatkan dukungan pemerintah.
Riset ini melibatkan tim yang terdiri atas praktisi Humas dan Komunikasi dari berbagai sektor, Benny Butarbutar, IAPR selaku koordinator, Dr. N. Nurlaela Arief, MBA, Dr. Dian Agustine Nuriman, M. Ikom, IAPR, Richele Maramis, Glory Oyong, T. Marlene Danusutedjo, IAPR, dan Anggia Bahana Putri.
PERHUMAS Indicators menggunakan pendekatan mix-methodology dan melibatkan lebih dari 1.000 responden dari seluruh Indonesia dengan tingkat margin of error berada di angka tiga persen atau dapat dipercaya, sehingga diharapkan memberikan hasil yang komprehensif dan akuntabel.