TRIBUNNEWS.COM - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD merespons soal batas usia calon presiden dan wakil presiden.
Mahfud MD menilai kebijakan ini masih termasuk kebijakan hukum terbuka.
Sehingga, yang menentukan adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan pemerintah.
Sementara Mahkamah Konstitusi (MK) bertugas membatalkan bila memang kebijakan itu dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
"Masalah batas usia calon presiden dan wakil presiden baik miinimal 35 tahun atau maksimal 70 tahun, menurut saya itu kebijakan hukum terbuka atau open legal policy, yang menentukan itu adalah positif legislator, DPR dan pemerintah."
Baca juga: Jalur Kilat Kaesang Jabat Ketua Umum PSI, Ini Daftar Usia Ketum Partai Politik Peserta Pemilu 2024
"Kalau Mahkamah Konstitusi (MK) itu kerjanya negatif legislator artinya hanya membatalkan kalau sesuatu bertentangan dengan UUD 1945," kata Mahfud dikutip dari Kompas Tv.
Dijelaskan Mahfud, MK tidak boleh membatalkan sesuatu yang tidak dilarang oleh konstitusi.
"Kalau (soal suatu kebijakan) ada orang tidak suka dan sebagainya atau (mengatakan) itu tidak pantas, tapi tidak dilarang oleh konstitusi, maka MK tidak boleh membatalkan sesuatu yang tidak dilarang oleh konstitusi," jelas Mahfud.
Termasuk soal syarat minimal batas usia Capres dan Cawapres.
"Kalau (batas usia Capres dan Cawapres itu dipersoalkan minimal harus 35 tahun dan maksimal 70 tahun itu, yang boleh menentukan harus DPR itu teori hukumnya, bukan MK.
"Jadi dia (DPR) yang membuat, MK yang membatalkan kalau (kebijakan itu dianggap) salah dan kita tidak boleh mengintervensi Mahkamah Konstitusi," tegas Mahfud.
Baca juga: Jadwal Tayang Film The Creator di Bioskop Jakarta, 28 September 2023
Sebagaimana diketahui, saat ini batas usia capres dan cawapres sedang menjadi bahasan dunia pilitik Tanah Air.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pun turut mempertanyakan langkah pemerintah dan DPR yang tidak mempermasalahkan untuk diturunkannya usia capres dan cawapres, dari sebelumnya 40 tahun menjadi 35 tahun.
Padahal menelisik ke belakang, pascapenyelenggaraan Pemilu 2019, baik pemerintah maupun DPR menolak untuk merevisi Undang-Undang (UU) Pemilu.
“Dulu ketika usai Pemilu 2019, banyak pihak yang ingin agar UU pemilu ini direvisi bahkan beberapa hari pascapennyelenggaraan Pemilu 2019 saat kita merasakan Pemilu 2019 cukup kompleks, bukan hanya penyelenggaraan tapi peserta pemilih, ada dorongan kita perlu revisi."
"Bahkan (dalam pertemuan itu) sudah sampai dibahas di DPR, Komisi II, menyusun revisi UU Pemilu, tapi kemudian di awal 2021 pemerintah dan DPR menyatakan bahwa revisi ini tidak usah dilanjutkan,” ungkap Direktur Eksekutif Perludem Khoirunissa Nur Agustyati, Selasa (26/9/2023).
Dengan tidak adanya revisi, maka jika hendak melakukan perubahan UU Pemilu, langkah yang dapat diambil adalah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Termasuk uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Perempuan yang akrab disapa Ninis ini menegaskan, langkah perubahan melalui Perppu tentu tidak menjadi hal yang penting karena perubahan usia minimal ini bukan hal yang genting dilakukan sekarang.
Sebagai informasi, ada beberapa pihak yang menggugat atas persyaratan usia capres cawapres ini ke MK.
Dalam Perkara 55/PUU-XXI/2023 pihak yang menggugat yakni Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Waub Sidoarjo Ahmad Muhdlor, dan Wakil Bupati Sidoarjo Muhammad Albarraa.
Dalam Perkara 51/PUU-XXI/2023 pihak yang menggugat yakni Ketua Umum Partai Garuda (Ketum) Ahmad Ridha Sabana, dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Garuda Yohanna Murtika.
Kemudian dalam Perkara 29/PUU-XXI/2023 pihak yang menggugat adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Ketiga perkara ini menggugat Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang berbunyi :
Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani//Mario Christian Sumampow)