Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia, Profesor Hikmahanto Juwana, Ph.D menilai pemerintah Indonesia, khususnya tindakan Presiden Joko Widodo telah berani tegas terhadap Republik Rakyat Cina (RRC).
Ketegasan ini dapat ditunjukan Pemerintah meski Indonesia memiliki banyak hubungan ekonomi dengan Cina.
"Indonesia bersahabat dengan semua, sampai saat kedaulatan kita diganggu. Oleh karenanya, jangan ganggu kedaulatan dan hak berdaulatan Indonesia,” tutur Hikmahanto.
Hal tersebut diungkapkan oleh Hikmahanto dalam diskusi berjudul “Peta Baru China dan Ketegangan Di Perairan Asia Tenggara” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta.
Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani itu mendukung pemerintah Indonesia untuk tetap konsisten menolak klaim RRC yang ditandai dengan garis putus putus itu.
Pernyataan Hikmahanto menanggapi dirilisnya peta baru RRC yang berisi klaim kepemilikan negara itu atas sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan (LCS), termasuk wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat Natuna.
"Sikap itu harus terus dipertahankan dengan melakukan tiga hal, pertama kita terus sampaikan bahwa sembilan garis putus putus RRC, yang sekarang berkembang menjadi sepuluh itu, tidak ada, dan sebagai konsekwensinya, maka kita harus melakukan penegakan hukum bila nelayan RRC memasuki ZEE kita untuk mengambil ikan," jelasnya.
"Kedua, kita harus melakukan pengabaian, bila RRC melakukan protes atas upaya ekplorasi dan eksploitasi kekayaan alam kita di wilayah ZEE kita tersebut, dan ketiga, pemerintah Indonesia jangan pernah menginisiasi perundingan untuk wilayah yang tumpang tindih itu, karena di mata Indonesia, klaim kewilayahan RRC di Perairan Natuna Utara tidak ada,” tambah Hikmahanto,
Senada dengan Hikmahanto, Ketua FSI Johanes Herlijanto, M.Si., Ph.D., mendukung respons keras dari berbagai negara terhadap tindakan RRC yang menerbitkan peta yang menerabas wilayah berbagai negara itu.
Pasalnya, tindakan RRC menerbitkan di atas dapat diinterpretasikan sebagai upaya RRC untuk menegaskan bahwa negara itu tetap kukuh dengan klaim kewilayahannya itu.
Menurutnya, ada beberapa interpretasi dari tindakan Cina di atas,” tuturnya.
"Pertama adalah interpretasi versi Cina, yang mengatakan bahwa tindakan menerbitkan peta itu adalah tindakan rutin. Kedua adalah analisis yang mengatakan bahwa penerbitan peta tersebut dilakukan untuk kepentingan internal Cina, agar publik Cina melihat keseriusan pemerintah mempertahankan wilayah mereka," ucapnya.
Namun bagi Johanes, penerbitan peta itu utamanya harus dimaknai sebagai upaya Cina memberi signal pada negara-negara kawasan bahwa RRC masih tetap mempertahankan klaimnya di LCS dan beberapa wilayah lain.
"Apalagi rilis peta tersebut dilakukan hanya hitungan hari sebelum negara-negara ASEAN melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta, dan negara-negara G20 melangsungkan KTT di India,” ungkap Johanes.
Johanes juga menyatakan kekhawatiran bahwa kehadiran peta tersebut berpotensi untuk digunakan oleh Cina sebagai legitimasi bagi tindakan-tindakan negara itu di masa mendatang.
"Kita harus belajar dari rilis peta RRC dengan sembilan garis putus-putus (nine dash line) pada 1993, yang pada awalnya tidak disertai dengan ketegangan-ketegangan militer, namun dalam sekitar satu dasawarsa terakhir menjadi arena yang tegang karena RRC melakukan berbagai manuver yang berbenturan dengan otoritas negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia,” pungkasnya.
Menurut akademisi Universitas Pelita Harapan (UPH) itu, selain menyatakan penolakan terhadap klaim garis putus-putus RRC Indonesia dan negara-negara lain, harus menjalin kerja sama untuk menghadapi RRC yang makin agresif itu.
Johanes juga menekankan pentingnya Indonesia dan negara-negara ASEAN terkait memperoleh dukungan internasional dalam menghadapi perilaku RRC itu.