Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Jimly Asshiddiqie, menegaskan tidak punya konflik kepentingan memeriksa dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi.
Hal tersebut disampaikan Jimly Asshiddiqie dalam rapat klarifikasi para pelapor di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Jakarta, Kamis (26/10/2023).
Jimly mengatakan saat ini dia sudah tidak lagi mencalonkan diri sebagai Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sehingga, katanya, masyarakat dan sejumlah pihak memberi kepercayaan bahwa Jimly kini tidak punya konflik kepentingan dalam menyelesaikan sejumlah laporan dugaan pelanggaran etik hakim.
"Saya juga dipersoalkan orang ini. Saya kan anggota DPD, anggota MPR. Makanya saya semula nggak bersedia ini. Cuma saya diyakinkan tidak ada konflik kepentingan karena Pak Jimly tidak nyalon lagi untuk pemilu yang akan datang," kata Jimly, dalam rapat klarifikasi, Kamis (26/10/2023).
Baca juga: Anggota MKMK Disoroti karena Dukung Prabowo, Jimly: Sudah Sumpah Jabatan
Jimly siap menghadapi perkara berkaitan sengketa pemilu nantinya.
Terlebih, ungkapnya, agar pesta demokrasi rakyat Indonesia itu berjalan lancar dan tanpa konflik kepentingan.
"Artinya tidak ada konflik kepentingan karena saya tidak nyalon lagi sehingga nanti waktu perselisihan hasil pemilu tidak ada masalah," ucap Jimly.
Lebih lanjut, Jimly menyinggung dia memiliki beban sejarah di MK yang menurutnya tidak bisa terlupakan.
Oleh karena itu, sebagai salah satu pendiri MK, Jimly mengaku bersedia menjadi Majelis Kehormatan untuk mengangkat kembali marwah MK agar tidak dipandang jelek oleh masyarakat Indonesia imbas putusan 90/PUU-XXI/2023 tentang batas minimal usia capres-cawapres.
"Apalagi saya punya beban sejarah, belum pernah MK terpuruk imagenya kayak sekarang. Saya sebagai pendiri tidak tega. Maka saya bersedia ini (menjadi Anggota MKMK)," ucap Jimly.
Mahkamah Konstitusi (MK) resmi melantik tiga orang untuk menjadi anggota Majelis Kehormatan MK (MKMK) Ad Hoc.
Diantaranya yaitu Jimly Assiddiqie, Bintan Saragih, dan Wahiduddin Adams.