TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Memanasnya suhu politik dan ketegangan antar kontestan politik di tengah momentum pesta demokrasi, bukan berarti begitu saja dengan mudahnya melalaikan dan atau mensudahi berbagai agenda kerakyatan dan kebangsaan yang belum tutas dan belum terselesaikan, terutama terkait dengan agenda resolusi konflik agraria dan sumberdaya alam.
Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj Ketua Umum Lembaga Persahabatan Ormas Islam atau LPOI dalam keterangan persnya pada momentum “Halaqoh Fiqih Agraria dan sumberdaya Alam” menyampaikan konflik agraria dan sumberdaya alam masih menjadi “api dalam sekam” yang sangat rentan, mudah tersulut dan membara kapan saja serta akan mudah menggurita menjadi problematika kerakyatan dan konflik sosial yang berkepanjangan. Bahkan lebih jauh lagi, bila tidak terkelola dengan baik.
"Konflik agaria dan sumberdaya alam dapat menjadi komoditas politik yang rentan untuk diperdagangkan dan atau dimainkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan tanpa ada penyelesaian secara tuntas dan signifikan," kata Kyai Said dalam keterangannya pada Rabu (8/11/2023).
Kyai Said Aqil Siroj yang juga Anggota Dewan Pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) menegaskan tanah, air dan sumberdaya alam adalah anugerah Tuhan yang harus dikelola dan didistribusikan secara adil dan merata oleh negara untuk kemakmuran rakyat dan kedaulatan negara.
Hal ini selaras dengan amanat Undang Undang Dasar 1945 Pasal 33 bahwa bumi, air dan krkayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
"Negara tidak boleh tunduk dan kalah dengan siapapun dalam mengelola Tltanah, air dan dumberdaya alam," ujarnya.
Dijelaskan bahwa penyelenggara negara tidak boleh melakukan pembiaran, bahkan tidak boleh menyerahkan dan atau menyerah kepada “kelompok kelompok oligarki yang rakus lahan”, yang terus menerus menghalalkan berbagai cara untuk mengakuisisi tanah dan atau lahan lahan strategis hanya demi dan untuk memenuhi ambisi dan kepentingannya serta merugikan rakyat dan negara.
Baca juga: Menko Airlangga: Reforma Agraria Jadi Syarat Pemerataan Ekonomi
Lebih jauh lagi, dijelaskan bahwa negara sebagai pemilik sah atas legalitas suatu tanah dan lahan, negara tidak boleh menjadi lemah dan tidak boleh mengalah terhadap berbagai upaya penyerobotan tanah milik negara yang dilakukan secara terstruktur dan massif telah nyata nyata merugikan negara dan atau masyarakat yang ada didalamnya.
"Penyelenggara negara harus bertindak tegas dan memulihkan wibawa Negara dan memihak kepada kebenaran dan keadilan," ujarny.
Secara Fiqih “Haram Hukumnya dan Dzolim Statusnya, Bila ada Penyelenggara Negara yang menindas Rakyat, Memihak Kelompok Kelompok Oligarki Rakus Lahan dan membiarkan Konflik Agraria serta sumberdaya Alam berlarut larut tanpa penyelesaian”.
Kyai Said Aqil Mantan Ketua Umum PBNU, menambahkan pernyataannya “Kita tengah masuk pada Fase “Darurat Resolusi Konflik Agraria dan Sumberdaya Alam ditengah Kontestasi Politik”.
Pembiaran serta sikap acuh tak acuh terhadap penanganan konflik agraria dan sumberdaya alam akan mensuburkan benih benih ketidakpercayaan rakyat terhadap penyelenggara Negara yang berpotensi dan sangat mungkin akan berdampak pada social disorder dan ketidakstabilan sosial. Resolusi Konflik Agraria dan Sumberdaya alam harus menjadi prioritas bagi penyelenggara Negara di akhir Periode ini.
Penyelenggara Negara dan Masyarakat Tidak Boleh Lengah dan harus Bersama sama mengkaji secara kritis dan bertanggung jawab atas realitas konflik agraria dan sumberdaya alam. Mencarikan Soft Solution dan smart action dalam menyelesaikan sengketa agraria dan sumberdaya alam harus disegerakan.
Pekerjaan Rumah Para Penyelenggara Negara masih banyak yang harus dituntaskan, sehingga dapat mengakhiri Periode pembangunan kali ini dengan Khusnul Khotimah dan tidak meninggalkan beban di masa depan.
Baca juga: KPA Jelaskan Lima Permasalahan Agraria di Indonesia