News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hukuman Rajam untuk Pelaku LGBT, Anggota DPR Ini Bilang Perlu karena Makin Mewabah

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Anggota Komisi VIII DPR RI Nur Azizah Tamhid mengusulkan hukuman rajam demi menekan makin maraknya praktik LGBT terutama di kalangan anak muda yang semakin terjerumus pergaulan bebas.

Sebanyak 80 persen responden juga keberatan bila seorang LGBT menjadi tetangga mereka, 89 persen keberatan bila jadi bupati atau wali kota mereka, 90 persen keberatan jika jadi gubernur mereka, dan 89 persen keberatan jika jadi presiden mereka.

“Ini sangat berkolerasi dengan pandangan bahwa gay dilarang agama dan sebagainya. Jadi gay atau lesbian jangan berharap atau sulit sekali menjadi bupati dan lain-lain,” kata Ade.

Sikap responden secara pribadi terhadap kaum LGBT tidak selalu sama dengan temuan di atas.

Dalam survei Maret 2016, SMRC bertanya kepada mereka yang mengaku tahu LGBT, seandainya ada anggota keluarga yang ternyata LGBT, apakah akan tetap diterima sebagai anggota keluarga?

Ternyata 46 persen menjawab menerima, walaupun mayoritas (53 persen) menjawab tidak menerima.

Lalu, mayoritas (57,7 persen) berpendapat bahwa LGBT berhak hidup di Indonesia, dan 50 persen meyakini bahwa pemerintah wajib melindungi LGBT seperti halnya warga yang lain.

Kecenderungan ini ditemukan tidak berbeda secara signifikan antara jender (laki-laki dan perempuan), maupun tempat tinggal (desa-kota), agama, tingkat pendidikan, dan tingkat penghasilan.

Namun, mereka yang lebih tinggi kecenderungannya dalam menolak LGBT adalah mereka yang berusia di atas 55 tahun, pensiun, dan bersuku Betawi atau Minang.

Sebaliknya, semakin muda, berpendidikan tinggi, dan bersuku Batak seseorang, kecenderungannya lebih menghargai keberagaman.

Ade mengatakan, sikap negatif terhadap LGBT ternyata tidak disertai dengan keinginan untuk mendiskriminasi LGBT sebagai warga negara.

“Memang tetap harus diberi catatan bahwa (masyarakat Indonesia) tetap diskriminatif karena menolak LGBT sebagai kepala pemerintahan, tetapi tidak sampai tahap LGBT harus dilarang dan ditiadakan dari Indonesia,” imbuhnya.

Menanggapi temuan SMRC, Dina mempertanyakan seberapa dalam pengetahuan masyarakat yang menjawab tahu LGBT.

“Ini jadi relevan dengan anggapan bahwa LGBT itu ancaman dan tidak perlu dilindungi pemerintah,” katanya.

Selain itu, Dina juga ingin tahu lebih lanjut mengenai pandangan LGBT di kalangan penganut kepercayaan lokal atau adat.

Antropolog UI Dr Irwan Hidayana juga mengharapkan adanya survei lanjutan soal tafsir dominan apa yang dalam agama tentang LGBT dan ancaman yang dimaksud oleh responden.

“Ancaman itu apa? Apakah ancaman fisik, ancaman psikologi, atau ancaman ketularan? Saya pikir jawaban orang jadi agak ambigu karena tidak terlalu jelas dengan apa yang dimaksud pertanyaan itu,” ujarnya.

Irwan juga pernah melakukan penelitian dengan topik serupa pada 2012 dan hasilnya tidak terlalu berbeda. Akan tetapi, dia dan tim juga bertanya apakah responden mengenal seorang LGBT.

“Ada perbedaan signifikan dari yang kenal LGBT dan tidak kenal LGBT. Responden yang kenal dengan LGBT secara personal memiliki sikap yang lebih positif daripada yang tidak kenal,” kata Irwan.

“Saya masih percaya bahwa orang Indonesia sebenarnya masih cukup toleran dengan LGBT karena secara historis dan kultural, cukup banyak masyarakat indonesia yang mengakui, mengenal, dan hidup besama dengan kelompok yang memiliki orientasi dan identitas seksual yang berbeda,” katanya lagi.

Laporan reporter M. Rifqi Ibnumasy/Renald/Ibnu Dwi Tamtomo/Erl | Sumber: Warta Kota

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini