News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pergantian Panglima TNI

DPR Setuju Jenderal Agus Subiyanto Jadi Panglima TNI, Mengapa Dianggap Bagian dari 'Geng Solo'

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) sekaligus calon Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dengan Komisi I DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (13/11/2023). Komisi I DPR RI menggelar fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan kepada calon tunggal Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto yang telah diajukan oleh Presiden Joko Widodo untuk menggantikan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang akan memasuki masa pensiun. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

"Dengan Pak Ridwan Kamil dan Pak Uu saya dekat juga. Jadi bagi saya, pada saat saya menjabat saya selalu melaksanakan tugas bareng-bareng dalam bentuk Fokopimda itu," jelasnya seperti dilansir Antara.

Terkait netralitas TNI pada pemilu 2024 nanti, dia menegaskan bakal menjamin netralitas institusi tersebut dari kepentingan manapun dan memperkuat sinergitas TNI-Polri dalam mengamankan pesta politik mendatang.

Netralitas TNI-Polri dipertanyakan

Sebelumnya sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mencurigai adanya potensi penyalahgunaan fungsi TNI dan Polri dalam menjamin keamanan Pemilu 2024.

Kecurigaan itu muncul setelah beredar kabar bahwa aparat keamanan, baik TNI maupun Polri, telah diperintahkan untuk menurunkan maupun memasang baliho pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Padahal, tindakan itu tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi aparat keamanan.

Namun, pihak TNI dan Polri membantah tuduhan itu dengan menegaskan bahwa sikap netralitas memang sudah tertuang dalam UU TNI dan UU Polri yang mengatur bahwa aparat keamanan harus bersikap netral dan tidak boleh terlibat dalam politik praktis.

Bagaimana indikasi dugaan pelanggaran netralitas TNI-Polri dan apa implikasinya bagi Pemilu 2024?

“Ini potensial pemilu terjadi kecurangan. Dan itu berbahaya sekali untuk demokrasi, karena dapat menimbulkan chaos di lapangan,” ujar Isnur.

Peneliti dari Setara Institute, Ikhsan Yosarie, mengatakan aparat penegak hukum sudah beberapa mengekang kebebasan berpendapat masyarakat yang mengkritisi pemerintah.

Sebagai contoh, ia menyebut kasus Ketua BEM UI, Melki Sedek Huang, yang mengeklaim keluarganya dan guru SMA-nya menerima intimidasi dari aparat keamanan dan orang-orang tak dikenal setelah Melki banyak mengkritisi putusan MK nomor 90 tentang batasan usia capres-cawapres.

“Intimidasi yang dilakukan aparat tidak hanya mencerminkan gangguan kebebasan berpendapat. Tapi juga hambatan nyata terhadap partisipasi warga negara dalam politik,” kata Ikhsan.

Terkait dugaan keterlibatan aparat dalam pemasangan maupun pencopotan baliho capres-cawapres, Ikhsan menegaskan kembali bahwa dalam UU Polri Pasal 28 ayat 1, jelas disebutkan bahwa Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Dalam UU TNI pun juga tegas melarang TNI berpolitik praktis, dan bahkan hal tersebut merupakan definisi dari peran tentara itu sendiri.

“Artinya, tidak berpolitik praktis menjadi jati diri TNI. Dugaan keterlibatan dalam politik praktis, terutama dalam pemasangan atau pencopotan baliho harus diselidiki lebih jauh oleh Bawaslu,“ kata Ikhsan.

Apa itu 'Geng Solo' ?

Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Andi Muhammad Rezaldy, mengatakan bahwa potensi terjadinya pelanggaran netralitas sudah disinyalir dari adanya apa yang ia sebut sebagai ‘lingkaran aparat keamanan’ yang sangat dekat dengan Jokowi.

“Misalkan dalam konteks polisi, kami melihat ada Listyo Sigit, yang dari rekam jejak sangat dekat dengan Presiden Jokowi kemudian calon lainnya," katanya.

Bahkan muncul tudingan adanya ‘Geng Solo’ dalam jajaran kepolisian dan tentara.

Geng Solo adalah sebutan bagi sejumlah pejabat tinggi TNI/Polri yang pernah bertugas di Surakarta ketika Jokowi menjabat wali kota.

Di antara mereka terdapat Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo yang dulu menjabat sebagai Kapolresta Surakarta pada 2011-2012.

Ada pula Kapolda Jawa Tengah Irjen Ahmad Lutfi yang sebelumnya bertugas sebagai Wakil Kapolresta Surakarta pada 2011.

Kemudian, Penjabat (Pj.) Gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana pernah bertugas sebagai Kapolresta Surakarta pada 2010-2011.

Di tubuh TNI terdapat nama Jenderal Agus Subiyanto yang diajukan Presiden Jokowi sebagai Panglima TNI. Saat Jokowi menjabat sebagai Wali Kota Solo,

Agus merupakan Komandan Komando Distrik Militer (Dandim) 0735/Surakarta berpangkat kolonel.

Agus belum seminggu menjadi KSAD menggantikan Jenderal Dudung Abdurachman ketika namanya disodorkan Jokowi ke DPR sebagai calon tunggal Panglima TNI.

“Berkaitan dengan konsep pemilihan Panglima TNI yang kita lihat proses pemilihan atau penunjukan oleh Presiden Jokowi yang dilakukan dengan singkat kilat,” jelas Andi.

Ia mengatakan kedekatan itulah yang menjadi penguat bahwa Jokowi memiliki pengaruh terhadap cara kerja para petinggi-petinggi aparat keamanan yang secara struktural juga langsung berada di bawah perintah kepala negara.

Selain itu, Andi juga menyoroti klaim Jokowi di acara publik bahwa ia memegang data intelijen terkait perihal arah dukungan politik dalam Pemilu 2024.

Padahal seharusnya informasi intelijen seperti itu tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi di luar penegakan hukum.

Berdasarkan pemantauan KontraS, TNI mengerahkan lebih dari 400 personel tentara untuk mengawal berlangsungnya Pemilu 2024.

Padahal, sudah ada pihak kepolisian yang ditugaskan untuk menjaga keamanan selama pemilu berlangsung.

“Dengan jumlah masif tentara TNI yang dikerahkan untuk melakukan pengamanan pemilu, kami melihat pengerahan aparat ini tidak ada urgensi. Maka, [penyalahgunaan] yang saya sampaikan itu berpotensi terulang dan bahkan jauh lebih buruk,” katanya.

Apa implikasinya terhadap Pemilu 2024?

Pengamat politik, Ray Rangkuti, mengatakan baik ASN, TNI, maupun Polri, memiliki tanggung jawab sebagai pejabat publik untuk mempertahankan netralitas dalam bertugas. Netralitas itu penting untuk memastikan bahwa tidak terjadi kecurangan dalam kontestasi pemilu.

“Netralitas menyatakan bahwa semua eksektuif tidak boleh membuat kebijakan yang akan menguntungkan salah satu kandidat. Tidak boleh menggunakan fasilitas negara, tidak boleh juga ada gerakan, tindakan, ucapan yang asosiatif terhadap salah satu kandidat,” jelasnya.

Ia khawatir bahwa jika TNI-Polri terbukti tidak netral dalam melaksanakan tugas mereka, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi aparat penegak hukum pun akan ikut tumbal bersama dengan kepercayaan terhadap pemerintah yang baru.

“Saya kira polisi sekarang harus lebih vokal karena kecurigaan dan seterusnya semakin berkembang di tengah masyarakat.

“Jangan sampai mereka mendiamkan lalu di saat yang bersamaan langkah-langkah yang diambil makin kuat ke kecenderungan terhadap memprioritas seseorang,” ujar Ray.

Ia mengingatkan bahwa Polri seharusnya tunduk terhadap konstitusi, bukan pemerintah. Oleh karena itu, segala hal yang melanggar netralitas maupun tupoksi mereka seharusnya ditolak secara terang-terangan.

“Kekuasaan bisa keluar masuk tapi polisi tetap ada di situ. Tidak akan ke mana-mana. Oleh karena itu, amat penting menjaga kepercayaan publik pada polisi, karena besok pemerintah akan beda,“ ungkapnya.

Senada, Ketua Umum PBHI, Julius Ibrani, juga mengatakan bahwa jika publik merasa bahwa pemilu tidak lagi dapat diyakini sebagai sarana menyampaikan aspirasi dalam menentukan calon pemimpin, maka sangat besar potensi terjadinya pembangkangan sosial.

"Jangan sampai terjadi ketidakpatuhan masyarakat sipil terhadap instansi negara, terhadap perangkat negara dan hasil pemilu. Kemudian terhadap pemerintahan yang dihasilkan lewat pemilu,“ katanya.

Hal itu, sambungnya, dapat berujung pada kekisruhan horisontal, seperti yang terjadi pada 1998, 1966 dan 1974 ketika masyarakat berada dalam kerusuhan yang tak terkendali akibat jatuhnya pemerintah.

Apa tanggapan TNI-Polri terhadap tudingan potensi pelanggaran netralitas?

Kepala Pusat Penerangan TNI, Laksamana Muda Julius Widjojono, memaparkan lima peraturan resmi yang dijalankan oleh TNI dalam memastikan netralitas para anggotanya menjelang dan saat pelaksanaan Pemilu 2024.

Pertama, tidak terpancing dan tidak mendukung salah satu partai politik maupun paslon dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis. Kedua, tidak memberikan sarana/tempat milik TNI untuk paslon atau parpol sebagai sarana kampanye.

Ketiga, keluarga prajurit TNI tidak diperbolehkan memberi arahan dalam menentukan hak pilih. Keempat, prajurit dilarang memberikan komentar atau mengunggah apapun terkait hasil perhitungan suara quick count dari lembaga survey.

Terakhir, ia memastikan bahwa jajaran TNI akan menindak tegas prajurit dan PNS yang terbukti terlibat kegiatan politik praktis ataupun memihak terhadap salah satu partai ataupun calon dalam Pemilu 2024.

Pada Sabtu (11/11) Kapolda Jateng Irjen Ahmad Luthfi menyampaikan kepada Panglima dan Kapolri bahwa jajaran TNI-Polri di Jawa Tengah selalu bersinergi dan solid dalam rangkai memastikan Pemilu 2024 berjalan aman, damai dan lancar.

"Mohon izin pak Kapolri, Panglima mereka siap dalam rangka pengamanan dan netralitas Pemilu 2024," ujar Ahmad.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini