Pada dasarnya Majelis Masyayikh berusaha menerapkan tiga kata kunci dari Undang-Undang Pesantren, yaitu rekognisi, fasilitasi, dan afirmasi. Rekognisi berarti pengakuan dari negara terhadap pesantren, mulai dari kurikulum hingga ijazah lulusannya, agar tidak ada lagi penolakan dari satu pihak kepada alumni pesantren.
"Kami berharap di masa depan, tidak akan ada lagi kasus penolakan terhadap lulusan Ma'had Aly yang ingin melanjutkan pendidikan S2 di perguruan tinggi," ujar Gus Rozin.
Terkait fasilitasi, sudah menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk membantu pesantren dalam hal-hal teknis.
Sementara itu tentang aspek afirmasi, ia meminta pemerintah dan pemerintah daerah membuat kebijakan yang menguntungkan pesantren secara politis.
Baca juga: Lima Saksi Diperiksa terkait Tewasnya Santri di Pondok Pesantren Tebo Jambi
“Maka kami Majelis Masyayikh sedang mengupayakan agar setiap daerah memiliki Perda Pesantren. Dengan demikian ada alasan bagi Pemda untuk memberikan perhatian dan juga APBD kepada pesantren," katanya.
Diketahui babwa pada era orde baru pesantren tidak diakui dan dikeluarkan dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dulu lulusan pesantren tidak diakui ijazahnya, sehingga harus menempuh ujian persamaan apabila ingin kuliah atau melanjutkan ke jenjang formal.
Namun, dengan terbitnya UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Pesantren diberi kebebasan mengatur pendidikannya sendiri tanpa harus mengikuti kurikulum Kemendikbud maupun Kemenag.
Baca juga: Majelis Masyayikh Resmi Luncurkan Dokumen Penjaminan Mutu Pesantren, Akan Jadi Acuan Induk Ponpes
Sekolahnya tidak harus formal, silabusnya bebas, sistem, jam masuk, dan aturannya juga bebas.
Maka dari itu pondok pesantren diminta menunjukkan kembali kualitas pendidikan pesantren yang dari dulu dikenal unggul dalam ilmu-ilmu agama.